21 May 2009

Kebumen Dalam Perspektif Pendidikan dan Kebudayaan

Naskah ini dibacakan Ketua PGRI Kebumen, Agus Septadi. pada malam renungan Hari Pendidikan Nasional 2009.

Kita harus mengucapkan terima kasih dan bangga atas fondasi good governance yang telah dibangun oleh PEMKAB Kebumen. Terlepas dari plus minusnya, konsep tersebut mampu mengangkat Kebumen pada kancah nasional maupun internasional terutama dalam hal keterbukaan dalam kinerja pemerintahannya. Konsep yang selalu dikumandangkan Ratih TV ( hanya sekitar 2 jam dengan SPB 30 menit ) – TV lokal yang belum juga dapat diakses hingga pinggiran – mampu menjadikan TV tersebut sebagai ikon Kebumen, yang sejatinya (hanya) merupakan alat Public Relation (politik) bupati. Sebab acara selain Selamat Pagi Bupati ( SPB) – yang berupa keluh kesah pada bupati perihal pelayanan atau kinerja pemkab – tidak tergarap betul. Acara lainnya sepertinya hanya sekedar numpang lewat belaka.

Pemkab sepertinya takut untuk mengeksplore aset kebumen selain good governance yang sebetulnya adalah konsep yang biasa – biasa saja. Artinya konsep tersebut hanyalah masalah niat baik untuk menjalankan roda pemerintahan ( keterbukaan, dapat dipercaya dan Bersih ). Namun konsep ini mampu menghipnotis sehingga pejabat – pejabatnya sepertinya takut untuk berbuat atau berkreasi. Para pejabat takut karena sewaktu-waktu jabatannya dapat digusur. Apalagi kalau politiknya tidak sepaham.

Ketakutan inilah yang sebenarnya menjadikan Kebumen dimata dunia luar bagus tapi sejatinya Kebumen itu belum ( tidak ) menghasilkan apa – apa. Banyak permasalahan – permasalahan yang belum dapat diselesaikan dengan baik. Penempatan guru / Kepala Sekolah yang belum dapat menjadikan pendidikan menjadi optimal karena penempatan KS dan guru yang kurang tepat. Permasalahan guru GTT/PTT yang masih belum dapat

diselesaikan dengan baik. Guru GTT yang kualifaikasinya kurang memenuhi syarat ( tamatan STM,SMEA, SMA ). Penempatan pejabat yang kurang tepat. Sebagai contoh :bagaimanapun Dinas Pendidikan mestinya ditempati oleh personal yang mempunyai hubungan langsung dengan profesi pendidik. Bagaimanapun mereka harus menguasai kurikulum dan kelas, karena basis pendidikan adalah kurikulum dan kelas, bukan hanya penguasaan permasalahan managerial belaka.

Permasalahan kecil itu tetap potensial menjadi permasalahan yang dapat menjadikan kinerja Pemkab kurang optimal terutama permasalahan pendidikannya. Hal ini sudah dapat diketahui dari hasil UN yang hanya menempati peringkat terakhir. Karena bagaimana pun kontroversialnya UN, tolok ukur keberhasilan adalah hasil UN. Hasil UN kenyataannya tidak dapat disandingkan dengan berbagai prestasi siswa atau guru yang mencapai Nasional hingga Internasional. Anggaran Pendidikan yang 20% dari APBD walaupun secara riil ( Rancangan Awal RKPD Kab. Kebumen 2010 ) sudah melebihi, namun pada kenyataannya untuk pengembangan profesi guru dan pengembangan SPM ( standard pelayanan minimal ) sekolah – yang merupakan jantung dari SDM, masih sangat kecil. Kenyataan ini jangan – jangan mempunyai hubungan lurus dengan hasil prestasi siswa ( UN )?

Hal tersebut menjadi menarik karena sepertinya ada tarikan garis yang berseberangan antara budaya good governance dan pengembangan supra struktur maupun infrastruktur pendidikan. Disatu sisi kita memerlukan ( dan sudah menjadi buadaya? ) good governance namun sisi yang lain sementara ini tidak dikembangkan secara maksimal. Sisi – sisi yang sebenarnya mampu mendongkrak tesis itu ternyata tidak dikembangkan secara maksimal karena memang secara apa pun tidak menghasilkan ( baik fisik maupun finansial

– bagi dirinya/kelompok ) sehingga enggan mengembangkan atau mengeksplorasi. Padahal potensi ini akan mampu mendongkrak kinerja Pemkab menjadi lebih baik lagi.

Pengembangan potensi pendidikan dan kebudayaan – harus diakui – mampu mendongkrak brand sebuah daerah. Tidak usah terlalu tinggi, Yogya, solo atau Semarang misalnya. Kota terdekat, Purworejo dengan nDolalak, Magelang dengan Kesenian lima gunungnya, Purwokerto dengan tek – teknya. Contoh tersebut tidak saja menjadikan Kabupaten itu muncul sebagai daerah yang harus diapresiasi keseniannya tapi juga berimbas pada sektor – sektor lainnya. Side efek pada saatnya nanti adalah pada semangat bergood governance yang tinggi karena ada keberanian untuk mengeksplore potensi – potensi yang lain.

Kebumen sebetulnya tidak kurang ragam seninya, tidak kurang orang yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya. Kebumen mempunyai menoreng di Kec. Karanggayam, Peniron ( Pejagoan). Angguk di Adimulyo, Petanahan dan Ambal. Mentiet di KAranggayam dan Ayah serta Jamjaneng atau Slawatan yang ada hampir di setiap kampung . Ketoprak hingga wayang golek masih hidup di desa – desa pinggiran. ( Suara Kedu 21 Nop 08 ). Dalang Wayang kulit tersebar di hampir setiap eks kawedanan tapi lebih memilih Enthus Tegal dalam tanggapan di Alun – alun karena lebih mampu menyerap pengunjung sehingga ( secara kalkulasi politis) lebih menguntungkan. Sastrawan atau budayawan yang kebanyakan guru sangat potensial. Namun kesemuannya itu tidak mendapat dukungan Pemkab sebagai yang mempunyai segalanya, baik power maupun dana.

Fenomena di atas tidak saja tidak tepat dalam menempatkan personil tapi juga ketidakseriusan Pemkab dalam menggarap potensi budaya ( baca pendidikan ) tersebut.

Ketidakseriusan tidak saja menyangkut pendanaan tapi juga konsep – konsep tentang pengembangan kesenian (budaya). Potensi personil sebetulnya bisa berkembang tapi karena takut dengan good governance, maka kreatifitas pun menjadi mandeg. Apalagi dana sebagai dasar pengembangan tidak sepadan ( kebudayaan dan pendidikan tidak dianggap menghasilkan apa-apa) sehingga Pemkab /DPRD tidak memberikan apresiasi anggaran yang layak terutama dalam pengembangan potensi/professional guru dan siswa ( baca fasilitas di sekolah, perpustakaan, laboratorium dan infra struktur yang lain).

Kreatifitas dan keberanian Pemkab tersebut menjadi kurang karena budaya paternalistiknya masih melekat erat. Ketakutan akan digeser atau dimutasi atau di nonjobkan menjadi momok bagi sebagian pejabat yang mestinya berpikirnya pada bagaimana mengembangkan potensi daerah daripada berpikir untuk keuntungan pribadi. Mindset inilah yang yang menjadikan Kebumen stagnan terutama dalam mengeksplorasi potensi – utamanya potensi kebudayaan dan pendidikan. Orang – orang serba ketakutan, khawatir kalau salah atau keliru dalam mengambil kebijakan.

Lay out berpikir seperti ini karena unsur budaya – dalam arti ranah apresiasinya masih minim – maka keberanian mengeksplore kemampuan dan potensi kebumen menjadi tidak signifikan dengan asset yang sebenarnya sangat besar di Kebumen. Rendahnya apresiasi tersebut dikarenakan ketakutan akan stigma good governance. Bekerja yang apresiatif adalah bagaimana mindset berpikir kita luas dan berwawasan ke depan. Berpikir berwawasan pada akhirnya adalah berpikir yang dilandasi ranah apresiasi terhadap kebudayaan dan pendidikan itu kuat.

Kebudayaan dan pendidikan yang berkembang di kebumen memungkinkan untuk dieksplore oleh semua orang sebagai ranah apresiasi yang ke depan dapat mengubah paradigma dalam mengembangkan potensi Kebumen. Good Governance yang sudah menjadi trade mark, sudah menjadi Brand Kebumen akan semakin utuh dan bermanfaat tidak saja untuk kinerja pemerintahannya tetapi melebar ke ranah masyarakat.

Dengan mengembangkan kebudayaan ( pendidikan ) Kebumen secara maksimal tidak saja masyarakat untung karena diapresiasi oleh pemerintah, yang berarti nguwongke masyarakat, tapi secara luas berarti Pemkab memberi ruang terbuka untuk masuknya masyarakat ( potensi ) pada ranah kebijakan – kebijakannya. Akhirnya kebijakan – kebijakan Pemkab secara tidak langsung sudah mengacu pada Good Governace. Masyarakat pada akhirnya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan pemerintahnya.

Kebumen, Malam Sabtu 1 Mei 2009

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial