17 November 2012

Antara Program 'Study Tour' dan 'Live In'

Oleh : Agus Purwanto.
Pada semester ini laboratorium sekolah tempat saya mengajar, tengah direnovasi. sehingga nyaris sepanjang semester ini tidak dapat praktikum. Hanya klas X yang saya coba beri kegiatan praktikum dengan alat dan bahan sederhana yang dapat dicari di sekitar. Terhentinya praktikum membuat pembelajaran kimia nyaris cuma 'cerita' dan latihan soal-soal. Karena tidak melaksanakan kegiatan praktikum, maka masih 'tersisa' waktu setelah teori rampung, khususnya di kelas XI IPA yang saya ampu.
Dalam rangka mengisi sisa waktu, sekaligus mengganti kegiatan praktikum saya mencoba mendorong dan menugasi anak-anak XI IPA untuk melakukan 'penelitian sederhana' berkait materi kimia. Selain itu proses perencanaan, pelaksanaan, hingga laporan dan presentasi hasil peneilitian akan saya gunakan untuk mengisi nilai psikomotor dalam raport.
Namun saya mendapati kenyataan bahwa anak-anak belum pernah diberikan materi bagaimana melakukan 'penelitian sederhana', dan bagaimana menulis laporan, sehingga sebisa mungkin saya memberikan sepintas apa dan bagaimana itu membuat 'penelitian sederhana'.
Menurut saya melatih anak-anak menggunakan metoda ilmiah adalah sesuatu yang sangat penting, bahkan mendasar bagi seorang pembelajar. Latihan ini akan membuat anak-anak terasah logika dan inovasinya, disamping itu juga membuat anak-anak menjadi memiliki sikap obyektif, teliti, tangguh, dan jujur.
Bukan salah anak-anak bila mereka tidak tahu bagaimana membuat 'penelitian sederhana', karena sekolah (lebih tepatnya guru-guru dan kepala sekolah) memang tidak pernah memprogramkannya. Dalam catatan, sekolah tempat saya mengajar hanya sekali mengadakan program 'penelitian lapangan' lebih dari tujuh tahun lalu, dengan dikoordinasikan oleh seorang guru Fisika. Waktu itu anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dengan dibimbing guru dikirim ke desa-desa selama tiga hari untuk melakukan 'penelitian' sesuai objek yang mereka pilih (semacam program live in sekarang). Setelah itu masing-masing kelompok membuat laporan penelitiannya. Namun program ini hanya berjalan sekali, tahun berikutnya anak-anak dan guru-guru lebih memilih study tour ke Bali. Bahkan tahun-tahun terakhir hanya tour saja tanpa study dan tidak ada kewajiban membuat laporan.
Lebih duapuluh tahun lalu, ketika saya mengabdi sebagai guru tidak tetap di sebuah SMA swasta di Gombong, saya pernah 'melakukan sesuatu' berkait fenomena study tour dan program live in ini (Silahkan anda bisa baca berikut ini).
.... 

STUDY TOUR

Kisah duka dari dunia pendidikan kembali berulang. NES (14) siswa kelas II (Kelas VII - Red) di SMP Muhammadiyah Playen, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Selasa (22/5) sekitar pukul 14.00, nekat mencoba bunuh diri. Tindakan tersebut dipicu perasaan malu lantaran yang bersangkutan belum melunasi biaya karyawisata yang diadakan pihak sekolah ke Cilacap, Jawa Tengah.
Kini NES masih menjalani perawatab di RSUD Wonosari, Gunung Kidul. Menurut ibu kandungnya, Pujiantini (40), meski kesehatannya sudah berangsur membaik, kondisi fisik NES masih tampak lemah.

Pujiantini menduga tindakan nekat yang ditempuh NES berkaitan erat dengan rencana karyawisata yang dilaksanakan pihak sekolah anaknya pada 27 Mei mendatang. Menurut Pujiantini hingga selasa lalu anaknya belum bisa membayar biaya karyawisata senilai Rp 155.000. Padahal, pihak sekolah memberi batasan waktu hingga Jum’at pekan lalu.
“Kepala sekolah sebenarnya tidak terlalu memaksa, tetapi panitia mengejar-ngejar supaya lekas membayar” ujarnya.
NES sendiri, Sabtu pekan lalu, sempat dipanggil pihak sekolah. Kepada pihak sekolah, NES berjanji akan melunasi pembayaran pada hari Senin. Namun, karena belum mendapat uang, pada Senin dan Selasa ia tidak masuk sekolah.
Sukarno, Kepala SMP Muhammadiyah Playen, mengatakan, karyawisata tersebut bukan kegiatan wajib. Ada beberapa siswa yang juga merasa keberatan karena alasan ekonomi. Lagi pula, katanya, pembayaran kegiatan yang direncanakan sejak awal tahun tersebut sebenarnya dapat diangsur.
“Mereka tidak diwajibkan membayar dengan catatan benar-benar tidak mampu. Ada beberapa orangtua siswa yang datang ke sekolah untuk meminta keringanan. Hal itu ternyata tidak dilakukan pihak keluarga korban” ujar Sukarno.
(KOMPAS, Kamis, 24/05/2007)

Membaca berita di atas, saya teringat kejadian beberapa puluh tahun lalu. Tepatnya tahun 1988, saat saya baru lulus sekolah guru, dan mulai mengabdi menjadi guru tidak tetap (GTT) di sebuah SMA swasta di kota Gombong. Kala itu saya masih tinggal bersama orang tua di Puring.
Suatu sore sekitar jam 15-an, saya nongkrong di Warung Bi Dirah, warung di prapatan depan rumah, tempat saya biasa ngopi dan ngobrol dengan beberapa teman.
Tengah asyik ngobrol, datang seorang laki-laki paruh baya mengendarai pit onthel lanang, dengan keranjang di kiri-kanan tersangkut di boncengan sepeda.
Sambil masuk warung, lelaki itu memesan : “Sega jangan Yu, karo kopi”.

Walau tidak kenal, sayapun berusaha ramah dan menyapa lelaki itu : “Saking pundi Kang?”.
“Lah niki, saking Gombong, mbeta gori, ning kalih mampir-mampir dados tekan sonten” jawab lelaki itu.
“Mampir saking pundi si?”
“Golet butuh Mas, ajeng kalih adol pit ujare kula, ning mboten onten sing ngenyang” jawabnya sambil nyeruput kopi yang sudah tersaji.
“Lhah, deneng si pite diedol, lha ngenjang sampeyan olihe mbeta gori teng Gombong si kepripun? Ajeng kangge napa si duite?” saya mencoba mengorek keterangan.
“Ajeng ngge mbayar studi tour anake kula teng Jakarta” jawabnya lagi.
“Putrane sekolah teng pundi si?” Tanya saya lagi.
“Teng SMA Purnama Gombong”.

Jawaban terakhir lelaki setengah baya ini membuat saya tercekat. Betapa tidak, SMA Purnama adalah sekolah dimana saya mengajar!

Malam harinya saya menjadi sulit tidur, bukan karena minum kopinya Bi Dirah, tapi memikirkan lelaki yang hendak menjual pit onthel, alat produksi dan alat transportasinya itu, untuk membayar biaya study tour anaknya. Pertanyaan dan bayangan memenuhi otak. Bagaimana lelaki itu besok mengangkut gori ke Pasar Gombong tanpa pit onthel (kala itu belum ada angkot seperti sekarang), Apakah hasil penjualan pit onthel butut itu mencukupi untuk membayar biaya study tour?

Tahun 1989, dengan dukungan beberapa guru, saya merintis dan mendirikan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), beranggotakan sekitar 30-an murid, yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, 5 hingga 10 siswa. Kegiatan outdoor pertama adalah melakukan ‘penelitian lapangan’ di Desa Srati Kecamatan Ayah, meneliti penggunaan obat gula sebagai zat additif (zat tambahan pada makanan) pada proses pengolahan gula jawa, dan di  Pantai Karangduwur meneliti biota laut.
Penelitian lapangan mengambil waktu tiga hari, dengan pembagian hari pertama dan kedua melakukan penelitian dan hari ketiga melakukan bhakti masyarakat.
Selang sebulan kami melaporkan program KIR sekaligus hasil penelitian kepada kepala sekolah dan memaparkannya di forum guru.
Kami menawarkan pada forum agar program penelitian lapangan ini dijadikan pengganti study tour. Dan alhamdulillah kepala sekolah dan para guru setuju.
Dan sejak saat itu, tiap tahun hingga tahun 1995, saat saya melepas status GTT, SMA Purnama mengadakan ‘Penelitian Lapangan’, sebagai pengganti program study tour.

Berdasarkan pengalaman membimbing ‘Penelitian Lapangan’, program ini memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan program study tour, yaitu :

  1. Murah. Biaya yang dibutuhkan jauh lebih murah dibandingkan study tour. Komponen biaya transportasi dari sekolah (di Gombong) ke lokasi penelitian di Srati Ayah (misalnya), murah dan bahkan bisa ngecer. Juga komponen biaya makan, biasanya kami  minta tolong  Pak Kades atau salah satu penduduk, atau warung di desa untuk menyiapkan makan dan minum peserta selama di desa. Ini jelas jauh lebih murah ketimbang makan di restoran atau hotel dalam program study tour. Biaya penginapan? Nol. Sepanjang pengalaman belum pernah ada seorangpun Kades atau penduduk yang meminta biaya untuk penginapan anak-anak ‘peneliti’ ini.
  2. Membumi dan Beragam. Program ‘Penelitian Lapangan’ di desa-desa lebih membumi, karena subjek penelitian adalah subjek yang ada di desa-desa, dan merupakan persoalan riil desa. Di lain sisi, siswa peserta penelitian menjadi lebih mengenal dan memahami persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Siswa yang menyukai IPA bisa meneliti serangga yang hidup pohon-pohon, atau meneliti tentang zat aditif makanan yang digunakan pada masakan masakan ‘ndesa’, seperti daun salam, laos, kencur, tumbar. Sementara yang menyukai ilmu-ilmu sosial dapat meneliti tentang berbagai sistem dan persoalan pemerintahan desa, meneliti kesenian tradisional semacam ebleg sampai samroh, dan sebagainya. Alhasil, tema atau topik penelitian yang dituangkan dalam karya tulis siswa menjadi sangat beragam. Jauh berbeda dengan karya tulis siswa hasil study tour yang nyaris seragam, dan bahkan merupakan copy paste brosur-brosur yang diberikan oleh objek-objek study tour yang dukunjungi. Disamping itu, siswa peserta penelitian bisa merasakan denyut nadi masyarakat desa. Sebagian dari siswa bahkan ikut ndaut dan tandur di sawah.
  3. Ilmiah. Program ‘Penelitian Lapangan’, sesuai namanya, mengedepankan dan mengasah metoda ilmiah : mulai mengidentifikasi permasalahan, menyusun hipotesa, hingga mengambil kesimpulan, bahkan menyodorkan berbagai alternatif solusi. Pada penelitian zat aditif pada pembuatan gula jawa misalnya, ‘para peneliti muda’ ini mengajukan Natrium benzoat sebagai zat aditif yang lebih aman untuk menggantikan Natrium bisulphit. 

Sayangnya program model ‘Penelitian Lapangan’ ini sering dianggap terlalu serius, sehingga tidak disukai kebanyakan siswa. Pun program ini tidak disukai oleh sebagian guru dan kepala sekolah, karena program ini tidak memungkinkan panitia atau guru-guru tertentu beroleh keuntungan materi, selain honor membimbing. Berbeda dengan program study tour. Telah menjadi rahasia umum bahwa pihak biro perjalanan biasanya menyediakan fee untuk kepala sekolah dan atau untuk panitia study tour, yang angkanya sangat menggiurkan. Hal di atas hanyalah salah satu alternatif yang bisa dikembangkan di sekolah-sekolah. Masih banyak model lain yang dapat dikembangkan oleh sekolah agar siswa kita lebih mengenali lingkungan dan bisa ikut merasakan denyut nadi persoalan masyarakat dan bangsanya.
Beberapa sekolah terlihat sering mengajak siswa-siswanya ke stasiun kereta api melihat bagaimana petugas mengatur perjalanan kereta api, juga ke DPRD melihat bagaimana cara anggota DPRD bersidang dan mengambil keputusan, atau ke kantor pos, ke kantor polisi, ke lembaga pemasyarakatan, ke pengadilan, dan ke berbagai tempat lain lagi.

Sebenarnyalah hal demikian sudah diketahui dan dipahami oleh sebagian besar kepala sekolah dan guru. Hanya sayangnya, terkadang masih saja ‘alasan-alasan nonkependidikan’ yang justru mengedepan dan mengemuka membutakan akal budi dan nurani.

(Juli 2007)
rampungna ngesuk maning ....

Lanjut membaca “Antara Program 'Study Tour' dan 'Live In'”  »»

13 October 2012

SMA N 1 Gombong 'Tolak' Menjadi RSBI

Gombong - orasakobere.

SMA Negeri 1 Gombong menyatakan 'menolak' peningkatan status menjadi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Ihwal ketidaksetujuan menjadi RSBI terungkap dalam pertemuan guru dan karyawan SMA Negeri 1 Gombong dengan Tim Monitoring dan Evaluasi (Assesor) dari Direktorat Pembinaan SMA Kemdikbud, Kamis 11 Oktober 201. Berdasarkan hasil sementara monev yang dilaksanakan selama dua hari, dinyatakan bahwa SMA Negeri Gombong dinyatakan telah memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Salah seorang tim monev, Drs. Madrawi, M.Pd., menyatakan dihadapan para guru dan karyawan bahwa sekolah yang telah memenuhi 8 SNP seperti SMA Negeri Gombong memiliki dua alternatif pilihan, yaitu menjadi RSBI atau menjadi sekolah dengan keunggulan lokal (PBKL). Ihwal 'penolakan' menjadi RSBI, seorang guru beralasan bahwa kondisi sosio-psikologis warga sekolah dan masyarakat sekitar sekolah dirasa belum mampu menyandang RSBI. Hal senada diungkapkan Kepala SMA Negeri 1 Gombong, Drs. Kunnaji, "Sementara ini kami belum kepingin menjadi RSBI, kami ingin meningkatkankan kualitas, istilahnya sekolah desa tapi dengan kualitas kota".

Lanjut membaca “SMA N 1 Gombong 'Tolak' Menjadi RSBI”  »»

UKG Tahap II, Relatif Lebih Lancar

Gombong - orasakobere.

Dibanding dengan pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) Online Tahap I yang semrawut dan banyak mengalami kegagalan koneksi, pelaksanaan UKG Tahap II dinilai banyak pihak relatif lebih lancar. Beberapa perbaikan telah dilakukan oleh penyelenggara, diantaranya adanya penambahan tempat pelaksanaan UKG di beberapa wilayah. Untuk Kabupaten Kebumen terbagi dalam 20 tempat penyelenggara UKG. Hal ini memudahkan peserta UKG Online Tahap II yang berasal dari wilayah barat kabupaten Kebumen, tidak perlu berbondong-bondong pergi ke Kebumen. Pelaksanaan UKG Online yang terpantau di SMA Negeri 1 Gombong misalnya, semua peserta bisa 'connect' dengan lancar.
Namun pelaksanaan UKG Online masih diwarnai dengan tidak akuratnya data peserta dengan mata uji UKG. Seperti dialami oleh dua guru SMA Negeri 1 Gombong, Drs. Suwoto, dan Didit, S.Pd, yang ketika login yang muncul bukan mapel yang sesuai. Beruntung hal ini segera diatasi oleh penyelenggara dengan melakukan revisi, sehingga kedua guru ini bisa mengikuti UKG untuk mapel yang sesuai pada hari berikutnya.
UKG Online Tahap II di kabupaten Kebumen diwarnai diskusi hangat diantara peserta ihwal prosentase 'kelulusan' UKG yang masih rendah. Diskusi juga melebar berkait dengan kriteria kelulusan dan tindak lanjut UKG yang belum jelas. Dalam buku pedoman UKG yang dikeluarkan Kemdikbud, jelas dinyatakan bahwa UKG merupakan pemetaan komptensi guru, dan tidak ditemukan kriteria tentang lulus atau tidak lulusnya peserta UKG. Namun berkembang issue diantara peserta UKG bahwa batas kelulusan adalah 70. Bagi Bapak/Ibu Guru yang membutuhkan latihan soal kompetensi pedagogik dan buku Pedoman UKG, bisa diunduh di link sidebar kiri bawah blog ini, dan bagi Bapak/Ibu yang ingin melihat daftar peserta UKG bisa dilihat di website ukg.kemdikbud.go.id/peserta. .

Lanjut membaca “UKG Tahap II, Relatif Lebih Lancar”  »»

27 September 2012

Tiang Penyangga Retak

Gombong - orasakobere.

Kualitas bangunan yang rendah ternyata bukan monopoli bangunan milik pemerintah seperti yang selama ini disinyalir banyak orang. Bangunan yang dikerjakan oleh komite sekolah rupanya ada yang berkualitas rendah. Hal ini terjadi di salah satu sekolah terkenal di kota Gombong. Tiang penyangga tangga bangunan dua lantai ini retak dan menggantung. Tiang penyangga yang sesuai namanya semestinya berfungsi untuk menyangga nyaris tidak berfungsi.
Belakangan, ketika sekolah ini akan membangun lagi ruang kelas baru (RKB) dan melakukan pekerjaan penggalian pondasi di dekat tiang penyangga tangga, diketahui bahwa tiang penyangga tidak dilengkapi pondasi yang cukup, padahal semestinya diberikan pondasi cakar ayam agar bisa berfungsi sebagai tiang penyangga dengan baik. Pembangunan gedung dua lantai yang menggunakan dana APBS tahun 2011/2012 ini dikerjakan oleh pemborong yang juga anggota komite sekolah. 
Menurut Skep Mendiknas 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, komite sekolah memiliki peran mengontrol, memberi advis, memberi dorongan, dan menjadi mediator - bukan justru menjadi pelaksana.

Lanjut membaca “Tiang Penyangga Retak”  »»

02 September 2012

Dua Bulan Lebih Waktu Untuk Urus KK


Gombong - orasakobere.
Ternyata perlu waktu dua bulan lebih untuk sekedar mengurus Kartu Keluarga (KK). Hal ini dialami Yatun, seorang warga sebuah desa di Kabupaten Kebumen. Setelah melalui proses di RT/RW dan desa, pada 23 Juli 2012 Yatun pergi ke kantor kecamatan untuk menyelesaikan pengurusan Kartu Keluarga. Dirinya perlu segera mengurus KK karena akan digunakan sebagai salah satu persyaratan mengurus Akta Kelahiran anaknya yang lahir tanggal 2 Juli 2012 lalu. Namun dirinya harus bersabar, karena pengurusan KK baru selesai dan bisa diambil di kantor kecamatan pada tanggal 1 Oktober 2012. Hal serupa terjadi dengan saudaranya yang mengurus Kartu Tanda Penduduk pada tanggal yang sama, juga dijanjikan baru bisa diambil tanggal 1 oktober 2012.

Yatun menyesalkan lambatnya pelayanan administrasi kependudukan ini. "Padahal KTP diperlukan saudara saya untuk bekal bekerja di Jakarta" ujar Yatun. "Dan KK untuk mengurus Akta kelahiran anak saya, untungnya saya mendengar informasi bahwa untuk mengurus akta kelahiran tidak diperlukan KK yang mencantumkan anak saya yang baru lahir, mudah-mudahan pengurusan akta kelahiran anak saya tidak terkendala akibat KK ini" imbuh Yatun.

Lanjut membaca “Dua Bulan Lebih Waktu Untuk Urus KK”  »»

14 May 2012

Ada duka di Wibeng, Membuat Resah

Gombong - orasakobere.

"Pokoknya asal mau sama mau gak masalah kok"
Akta menegakkan telinga.
"Eh, tapi harus tahu trik-trik jitunya. Jangan sampai hamil, dan kena penyakit kelamin. Gawat kan kalo kita kena gituan?".
"Eh, ini nih ...ada cara praktis yang manjur. Udah banyak yang ngebuktiin"
........
Kutipan dialog di atas tertera di halaman 93 buku berjudul Ada duka di Wibeng, karangan Jazimah Al Muhyi, terbitan Era Adi Cipta Media. Buku ini merupakan salah satu buku yang didrop ke SD-SD di kabupaten Kebumen dari proyek DAK Perpustakaan 2010. Isi sebagian buku ini menjadi pembicaraan hangat di jejaring sosial facebook. Seorang guru SD di Kebumen mengaku resah dengan sebagian isi buku ini. "Meski penggalan cerita itu merupakan bagian awal sebuah pesan yang baik, tetap saja rangkaian kalimat itu menjadi sesuatu yang membuat bulu kuduk kita merinding" tulisnya dalam status. Seorang guru lain mengungkapkan keprihatinannya : ngelus dhadha, yang nulis mestinya belajar mengenal dunia bocah dulu ...
Beruntung buku ini segera diketahui, dan seorang Pengawas SD telah mengirim pesan singkat kepada para kepala SD agar buku tersebut diamankan dan tidak dipajang di perpustakaan.

Lanjut membaca “Ada duka di Wibeng, Membuat Resah”  »»

09 May 2012

Disinyalir Ada Penyimpangan Bantuan Rehab Ruang Kelas

Gombong - orasakobere.
Bantuan dana APBN Percepatan tahun 2012  untuk rehab ruang kelas gedung SD di kabupaten Kebumen disinyalir terjadi penyimpangan. Hal ini tercermin dari hasil kerja Tim Pengawas Independen Pelaksanaan Rehabilitasi Ruang Kelas SD Dana APBN Percepatan 2012. Selengkapnya hasil Tim Indpenden dapat diunduh DISINI.
Selanjutnya Tim Independen yang diketuai oleh Haryanto dan sekretaris Drs. Kholid Anwar, merekomendasikan agar Dewan Pendidikan Kabupaten Kebumen meningkatkan fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan pendidikan, pengeluaran dana untuk pihak ketiga yang tidak sesuai peruntukkan agar dikembalikan kepada kepala sekolah. 
Lebih jauh Tim Independen juga merekomendasikan Dewan Pendidikan Kabupaten Kebumen agar mengambil sikap terhadap perbuatan oknum Dewan Pendidikan yang telah nyata-nyata melakukan perbuatan yang mencemarkan institusi dan tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Dewan Pendidikan Kabupaten. Kepada pihak Kejaksaan Negeri Kebumen Tim Pengawas meminta agar mengambil sikap preventif.

Lanjut membaca “Disinyalir Ada Penyimpangan Bantuan Rehab Ruang Kelas”  »»

27 February 2012

Harapan Kebumen di UN 2012

Gombong - orasakobere.

Jelang pelaksanaan Ujian Nasional bulan mendatang, berbagai pemangku kepentingan di Kebumen berharap ada perbaikan prestasi. Harapan ini wajar mengingat hasil Ujian Nasional kabupaten Kebumen tahun-tahun lalu sangat memprihatinkan.

Catatan hasil UN tahun 2011 lalu membukukan :
SMP beroleh peringkat 33 (dari 35 kabupaten kota) dengan membukukan rata-rata 27,70
SMA IPA beroleh peringkat 28 dengan membukukan rata-rata 46,92
SMA IPA beroleh peringkat 23 dengan membukukan rata-rata 46,02
SMK beroleh peringkat 19 dengan membukukan rata-rata 31,51.

Sudah sewajarnya berbagai pihak, mulai dinas pendidikan, sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat bahu membahu mengupayakan perbaikan prestasi Ujian Nasional di semua jenjang.

Lanjut membaca “Harapan Kebumen di UN 2012”  »»

04 February 2012

SKB 5 Menteri, Lonceng Kematian Untuk GTT di Sekolah Negeri

Gombong - orasakobere.

Surat Keputusan Bersama Lima Menteri (Menteri Pendidikan Nasional, Meneg PAN dan Reformasi Birokrasi, Mendagri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama), NomorNOMOR 05/X/PB/2011, NOMOR SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, NOMOR 48 Tahun 2011, NOMOR 158/PMK.01/2011, dan NOMOR 11 Tahun 2011, Tentang Penataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil, merupakan lonceng kematian bagi para Guru Tidak Tetap (GTT), khususnya yang mengabdi di sekolah-sekolah negeri. Peraturan Bersama Lima Menteri ini menegaskan (kembali) kewajiban guru PNS untuk mengajar di depan kelas minimal 24 jam per minggu.

Sebelumnya kewajiban mengajar minimal 24 jam per minggu di depan kelas bagi guru PNS telah dilaksanakan, namun dalam praktiknya banyak sekolah yang mengembangkan struktur program kurikulum maksimal. Struktur program kurikulum maksimal ini selain untuk meningkatkan mutu pembelajaran sekaligus untuk menambah jam pelajaran sehingga kewajiban mengajar minimal 24 jam dapat terpenuhi. Berdasar Surat Keputusan Bersama Lima Menteri ini, sekolah harus melakukan penghitungan beban mengajar dengan struktur kurikulum minimal. Konsewkensinya sebagian guru PNS tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar 24 jam.
Lebih jauh dalam Petunjuk Teknis Surat Keputusan Bersama (SKB) ini mengatur, bagi guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar harus mencari sekolah lain, atau alih tempat tugas, baik sesama jenjang, antar jenjang, bahkan antar kabupaten/kota. Dampak lebih jauh, banyak Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengabdi di sekolah negeri terpaksa harus 'dilucuti' jam mengajarnya dan dialihkan kepada guru PNS.

Lanjut membaca “SKB 5 Menteri, Lonceng Kematian Untuk GTT di Sekolah Negeri”  »»
 
©  free template by Blogspot tutorial