31 December 2007

Ibu Hamil Putih Abu-Abu

Sari, sebut saja begitu (tentu bukan nama sebenarnya). Wajahnya murung, pandangan matanya nanar memandangi teman-temannya memakai seragam putih abu-abu berangkat sekolah. Tiga minggu lalu ia masih bisa berangkat bersama mereka, bercanda dan walau kadang harus pulang sampai menjelang magrib karena ada jam tambahan sore hari, ia masih menyisakan senyum untuk adik dan ibunya di rumah. Kini Sari tidak bisa melakukan itu semua.
Senyum kekanakannya yang manis hilang entah kemana. Tak terasa tangannya mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ya, Sari tengah hamil. Tiga minggu lalu siswi kelas XI sebuah SMA ini terpaksa keluar dari sekolah. Ia tidak tahu apakah ia keluar atau dikeluarkan dari sekolah. Semua diurus orang tuanya dengan sekolah. Yang ia tahu, orang tuanya mengharuskan dirinya berhenti sekolah dan tinggal di rumah, setelah sebelumnya ayahnya marah besar dan nyaris membunuhnya - beruntung ibunya masih melindunginya.Sari tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis. “Aku ingin sekolah Bu, aku sangat menyesal ... Aku nggak mau ... Mereka jahat ...” Tangis Sari dipangkuan ibunya.Tapi siapa yang peduli dengan tangis Sari.Orang tua Sari pun kalut. Tetangga dan keluarga besar, bahkan guru-guru Sari menyalahkan mereka, karena dianggap tak mampu menjaga anak perempuannya. Mereka tak tahu lagi cara menyelamatkan muka.

Peristiwa Ibu Hamil Putih Abu-Abu, atau bahkan biru abu-abu, nyaris menjadi sebuah fenomena. Terjadi dan terus terjadi, berulang dan berulang kembali tiap tahun. Dan ketika itu terjadi, berbagai reaksi bermunculan di masyarakat kita. Ada yang merasa prihatin, ada yang cenderung mencari kambing hitam : Salahnya orang tua kenapa tidak bisa mengawasi anak perempuannya; atau salahnya si anak perempuan, makanya jadi anak perempuan itu aja lenjeh; atau menyalahkan situasi jaman yang makin longgar, televisi yang makin ‘terbuka’, peredaran VCD porno yang kian marak, atau menyalahkan teknologi internet, atau menyalahkan teknologi HP berkamera, 3G/3,5G sehingga anak-anak dengan gampangnya bertukar gambar dan tayangan syur.Dan reaksi terbanyak di masyarakat kita adalah : menjadikannya bahan gunjingan nan hangat laiknya tayangan infotainment.

Sesungguhnyalah, Sari dan teman-teman senasibnya merupakan korban. Sari, sebagaimana umumnya anak-anak, adalah individu yang sangat labil, gampang terpengaruh, dan tergolong kelompok usia rentan. Karena alasan ini pulalah negara mengeluarkan UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan anak. Sari bisa menjadi korban karena orang tua yang tidak peduli, korban sebuah keluarga broken home, korban maraknya peredaran VCD porno, korban ketidaktahuan dan ketidak mengertiannya tentang kesehatan reproduksi, atau bahkan bisa jadi merupakan korban jaringan narkotika. Sehingga sikap sebagian masyarakat yang cenderung menyalahkan Sari - menyalahkan si korban (blame the victim) - adalah sikap yang sama sekali tidak bijaksana. Karena bisa jadi kesalahan justru terletak pada sekolah, pada orang tua, dan pada masyarakat. Sekolah dan orang tua bisa jadi salah, karena tidak memberikan pengetahuan yang memadai tentang kesehatan reproduksi. Sehingga anak yang telah dan tengah melalui masa akil baligh, dimana semua organ reproduksinya tengah tumbuh berkembang, mencari tahu informasi tentang seks pada orang dan tempat yang tidak semestinya - dan bahkan mencoba-cobanya tanpa memahami resiko yang bakal ditanggung.Masyarakat pun bisa jadi keliru, karena melakukan pembiaran terhadap peredaran VCD porno, membiarkan anak-anak mengakses situs-situs porno di internet tanpa proteksi yang berarti (bukankah konstruksi Warnet kita adalah bilik-bilik kecil tertutup, sehingga membuat pengguna warnet, termasuk anak-anak, bebas membuka situs apa saja, termasuk situs-situs porno!) . Bahkan beberapa angkutan kota (minibus) yang digunakan anak-anak pergi dan pulang sekolah ada yang bergambar sangat vulgar dan mengundang birahi. Dan anehnya pihak pemerintah membiarkannya begitu saja. Dengan kata lain, sikap saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan kontraproduktif.

Yang diperlukan Sari adalah empati dari semua pihak, khususnya dari orang-orang terdekatnya : orang tua, saudara-saudaranya, teman-temannya, guru-gurunya. Empati terhadap Sari bukan berarti kita menyetujui dan membenarkan perbuatan Sari. Sari, dan terutama yang menghamili sari, jelas salah besar. Tapi gunjingan dan caci maki tidak menyelesaikan masalah.

Pada umumnya kita memandang kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu sebatas pada kasusnya. Pernahkah terpikir bahwa bisa jadi fenomena ini hanya merupakan sebuah puncak gunung es dari sebuah permasalahan yang jauh lebih luas, serius, dan akut : free sex! Belum ada penelitian yang memadai untuk mengungkap masalah ini lebih mendalam. Kita hanya sebatas berdoa, semoga tidak separah itu yang terjadi.Penanganan Masalah Secara hukum, larangan anak sekolah yang hamil (atau menikah dan atau menikah kemudian hamil) untuk tetap bersekolah hanya ada pada tata tertib di masing-masing sekolah, atau pada perjanjian yang ditandatangani murid dan orang tua murid ketika awal masuk sekolah.

Tidak ditemukan peraturan yang lebih tinggi, berupa keputusan Bupati, Dirjen, atau menteri yang mengatur hal ini. Sementara di perguruan tinggi (kecuali PT Kedinasan tertentu), kita biasa menjumpai mahasiswi yang tengah hamil mengikuti perkuliahan tanpa hambatan apapun. Artinya ketika seorang anak perempuan berusia 18 tahun hamil, akan mengalami nasib berbeda. Kalau ia telah berstatus mahasiswi ia tetap bebas berkuliah, tapi kalau ia masih berstatus siswi SLTA, maka ia harus keluar dari sekolah.

Adalah benar bahwa kasus Ibu hamil putih abu-abu ini beragam, baik locus, modus, maupun konteksnya. Namun ada hal-hal relatif serupa (walau tak sama), yang dapat dijadikan acuan dalam penanganan masalah ini.Setiap kali kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu terjadi, penanganan yang dilakukan sekolah nyaris sama, simpel, dan cenderung reaktif : Pihak murid perempuan dikeluarkan atau diberikan surat pindah sekolah. Sementara bila pihak lelaki penghamil adalah sesama murid, ada sekolah yang membolehkan tetap bersekolah, namun ada sekolah yang mengeluarkan. Alasan yang dikemukakan pun tak kalah menariknya : demi menjaga nama baik, harkat dan martabat sekolah. (Seolah sekolah tak pernah salah).

Penanganan yang reaktif semacam ini hanya akan mengatasi symptom (gejalanya) saja, dan sama sekali tidak mengatasi akar permasalahannya. Ibarat ketika kita sakit kepala kemudian minum parasetamol, sakit kepala hilang seketika, tapi ketika pengaruh parasetamol hilang, maka sakit kepala kembali muncul. Perlu dicatat, apapun yang akan dilakukan untuk penyelesaian kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu oleh pemangku kewajiban dan pemangku kepentingan (stakeholder), terutama sekolah, harus mengedepankan prinsip yang terbaik untuk anak (the best interest for the child). Dan secara mendasar dilakukan secara komphrehensif-integratif (melibatkan semua stakeholder), dan antisipatif. Mengingat akar masalahnya yang sangat kompleks. Sekolah, khususnya tingkat SLTA atau juga SLTP, semestinya membekali murid-muridnya dengan pengetahuan agama (mental spiritual), pengetahuan psikologi, dan pengetahuan berkait kesehatan reproduksi (kespro). Semua pengetahuan itu harus berujung dengan satu pesan kuat : Jangan dekati zina! Pengetahuan ini diharapkan akan menjadi bekal dan pegangan anak-anak kita dalam menghadapi masa-masa angin dan badai yang penuh godaan dan kadang jebakan. Materi kespro dan sejenisnya ini sangat ideal bila disampaikan pada Masa Orientasi Siswa (MOS), saat dimana murid-murid mengawali tahun pelajaran baru di sekolah yang baru pula. Atau disesuaikan dengan situasi kondisi sekolah.

Pertanyaannya kini : sudahkan kita melakukan langkah antisipatif guna mencegah berulangnya kembali kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu? Sudahkah kita membekali anak-anak kita, murid-murid kita, dengan pengetahuan yang memadai untuk mengenali diri dan menghadapi masa-masa sulit angin dan badai yang akan menghadang mereka? Sudahkah kita menjadi sahabat mereka? Sudahkah kita mengingatkan (dengan sungguh-sungguh) agar sekali-kali jangan mendekati zina?Atau kita sekedar menggunjing, mencaci maki, dan berlaku reaktif bin kagetan? Atau kita akan membiarkan mereka bergaul bebas tanpa pendampingan?

Wallahu a’lam bishawab.

( @guspur, d_224@plasa.com )

Lanjut membaca “Ibu Hamil Putih Abu-Abu”  »»

Hari Guru dan Idul Fitri

Dengan semangat Hari Guru Nasional, kita kembalikan harkat, profesionalitas dan kesejahteraan guru” (Tema peringatan Hari Guru Nasional ke X, tahun 2003 Surat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kebumen nomor 426/4183)

“Ndilalah kersaning Gusti Allah Subhanahu Wa Ta'alla, 'Idul Fitri 1424 H bertepatan dengan tanggal 25 Nopember 2003” kata menko 'Sekobere' dalam sambutan hikmah 'Idul Fitri ala Majlis Obrolan Merdeka 'Sekobere'.
“Nengapa nek 'Idul Fitri 1424 H pas tanggal selawe nopember 2003, Istimewane nang endi ?” tanya Pak Guru SD Sidamukti Kwarasan.
“Lha kiye, Rika mbokan guru ? tanggal selawe nopember ko ora ngerti dina apa ?” Humas 'Sekobere' balik tanya.
“Ya ngerti, tanggal selawe nopember rong ewu telu kuwe dina slasa kliwon, ngepasi dina badan hari pertama, wong sekampung nggone inyong padha shalat 'Id” Jawab Pak Guru SiPur yang baru dapat arisan pit montor.
“Giye tek kandhani, tanggal selawe nopember kuwe Hari Guru Nasional Do You understand ?” sergah Humase.
“Oh, iya ? Yes Yes, I stand under You !” Pak Guru SiPur rupanya mulai mudheng.

Di jagat kasunyatan fenomena seperti Mas Guru SiPur, yang tidak ngeh kapan hari profesinya diperingati, teramat sangat banyak sekali.
“Nek, kaya kuwe sapa sing salah ?” tanya Kang 2Qjan.
“Ya, salah kabeh !” Jawab @gus-pur angles.
“Coba saja cermati, Apa reaksi seorang mahasiswa IKIP ketika dia ditanya : Kuliah wonten pundi Mas ?; Apakah dia menjawab dengan kepala tegak dengan nada penuh kebanggaan ataukah dia menjawab dengan muka menunduk dan suara lirih ?” lanjut @gus-pur.
Dan majlispun senyap mungkin teringat masa-masa kuliah dulu.
“Atau ketika ditanya : Daleme pundi Mas?. Dan harus jujur menjawab walau dengan malu-malu : Puring Pak” ledek @gus-pur.
(“Ora ana anake Gubernur ndaftar dadi guru” kata Pak Bagyo Tarman suatu ketika).

Sejak edisi awal bulletin ini muncul, bahasan dan analisanya berputar-putar masalah 'Kaum Oemar Bakri'; mulai dari yang menyanjung-nyanjung, ngalem-alem : seperti julukan sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Guru yang patut digugu lan ditiru sampai yang mengejek dan meledhek : dengan mengutip Darmaningtyas, bahwa Guru itu bodoh dan pengecut (karena membiarkan praktek-praktek korupsi di sekolah, tanpa berbuat apapun untuk menghentikannya).

Hari Guru 2003

Tema Hari Guru 2003 kali ini : Dengan semangat Hari Guru Nasional, kita kembalikan harkat, profesionalitas dan kesejahteraan guru. Beberapa catatan telah kita sampaikan melalui release ke berbagai pihak :
 Mengembalikan harkat, profesionalitas dan kesejahteraan guru ? …mengembalikan? apa pernah guru kita professional dalam sejarah kita sehingga perlu mengambalikannya?
 Penilaian kesejahteraan guru berbanding lurus dengan gajinya; Cobalah periksa berapa gaji guru bantu ? Gaji guru bantu hanya sebanding dengan UMR Jawa Tengah ! Ini artinya hanya cukup membiayai kebutuhan hidup minimal diri sendiri dan tergolong kelompok miskin ! … apalagi GTT bin wiyata bhakti yang per bulan hanya 130 ribu rupiah ( 100 ribu dari pemerintah pusat, 30 ribu dari pemerintah kab. Kebumen).
 Tuntutan profesionalisme bagi guru mensyaratkan adanya tahapan peningkatan professionalisme, sehingga dibutuhkan adanya strategi yang membuat guru menjadi professional. Sementara pendidikan sudah di desentralisasikan, semestinya strategi harus sudah disiapkan oleh daerah sendiri dan disesuaikan dengan kondisi lokal - dan ternyata hingga saat ini kita belum punya strategi itu.
 Dalam peningkatan profesionalisme guru, peran pemerintah pusat dalam hal budget (dana) sangat tidak tegas, terbukti dengan rencana alokasi dana 20 % dari APBN untuk pendidikan akan dilakukan secara bertahap, dan belum jelas sampai kapan tahapannya.
 Ketidak seriusan pemerintah pusat dapat terlihat dari penghapusan DBO (dana bantuan operasional) bagi Sekolah Dasar, sementara daerah belum mengganti alokasi ini dari APBD. Padahal pendidikan dasar adalah kebutuhan pendidikan mendasar dari masyarakat yang merupakan bagian dari wajib belajar 9 tahun, dan jelas ini harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
 DPP (Dana Penunjang Pendidikan) yang hanya sekitar maksimal Rp 1,5 jt per tahun, dan sebagian besar diberikan dalam bentuk barang yang dalam pengadaannya tidak melalui kajian kebutuhan sekolah. sehingga untuk menghindari ketidak sesuaian kebutuhan dan kemungkinan KKN, seharusnya dana diberikan kepada sekolah dan biarkan sekolah membelanjakan dana sesuai dengan kebutuhannya.
 PGRI sebagai 'satu-satunya' organisasi guru, yang diharapkan sebagai penggerak, ternyata kinerjanya belum optimal karena belum beranjak dari kultur lama dan cenderung subordinatif dengan birokrasi pendidikan; semestinyalah PGRI harus lebih berani dalam menyuarakan kepentingan anggotanya. Keberanian menempatkan 'guru biasa' untuk menduduki posisi-posisi kunci di PGRI bisa menjadi salah satu solusi.
 Posisi sosial guru yang masih dihargai dalam masyarakat, seharusnya menjadi modal mental bagi kita para guru untuk mengupayakan profesionalitas.

Ya benar ! Pertanyaannya adalah : Apakah Guru di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pernah memiliki harkat, profesionalitas, dan kesejahteraan yang baik, sehingga merasa perlu untuk mengembalikannya ?
Mari kita lihat dengan jujur. Sejak proklamasi dikumandangkan, presiden Soekarno tidak pernah memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspek pembangunan pendidikan, otomatis juga nasib guru. Sistem dan sarana pendidikan (gedung dan sebagainya) relatif baik hanya karena mewarisi tinggalan Landa. Nation and character building zaman Soekarno ditempuh dengan jalur politik; politik adalah panglima. Gaji guru kala itu sangat rendah, sehingga banyak guru tidak tahan dan memutuskan untuk beralih profesi. Guru yang jumlahnya kala itu memang masih sedikit, makin langka jumlahnya. Tanpa bermaksud mengabaikan jasa dan peran beliau pada bangsa ini harus kita akui bahwa pada dasawarsa awal kemerdekaan, pembangunan pendidikan bukan sebuah prioritas.
Ketika Orde Baru di bawah presiden Suharto berkuasa, pembangunan mulai agak menyentuh bidang pendidikan namun bukan prioritas ! Ini terlihat dari hanya dialokasikannya 3 % sampai dengan 4 % APBN yang diperuntukkan bagi pembangunan pendidikan. Bahkan ketika Indonesia memperoleh rejeki 'bom minyak' pun prosentase anggaran pembangunan pendidikan tidak bergeming. Ketika Orde baru runtuh - dan berganti jaman reformasi sampai dengan tahun 2001, kita masih mencatat prosentase kue APBN untuk pembangunan sektor pendidikan pada angka 3,8 % - Tragis!.
Kita pakai benchmark negeri jiran Malaysia, yang merdeka dari penjajahan Inggris, sekitar satu dasawarsa setelah Indonesia segera mengalokasikan 20% sampai dengan 25% APBN untuk pembangunan pendidikan negaranya. Dan di tahun 2003 ini kita sama-sama tahu hasilnya : betapa makmurnya Malaysia, sementara ribuan anak bangsa jamrud khatulistiwa ini berbondong-bondong pergi ke Malaysia untuk : menjadi kuli !
Atau kita pakai benchmark negara lain, Vietnam. Negara yang baru rampung ancur-ancuran dengan Rambo Amrik tahun 1974 ini, tahun 2002 lalu IPM-nya (Index Pembangunan Manusia) telah melampaui Indonesia; dan tahun 2003 sekarang telah mampu menyelenggarakan Asian Games, sekaligus menghempaskan Indonesia dengan perolehan medali dua kali lipat ! Kata kuncinya sama dengan Malaysia : sejak awal kemerdekaannya Vietnam telah membuat prioritas pembangunan yang cerdas, yakni pembangunan pendidikan !

Kata harkat biasanya tersambung dengan kata martabat, jadilah harkat martabat. Harkat guru menurut fitrahnya bisa disejajarkan dengan orang tua (Ayah dan Ibu). 'Ideologi' apapun, di belahan bumi manapun, dan di jaman apapun, akan menempatkan Guru di tataran dan harkat yang sangat terhormat. Bahkan di negeri 'wayang', sesableng-sablengnya Ki Dhalang Enthus tetap menempatkan kaum guru (begawan) di porsi yang terhormat artinya tidak ada wayang kelas begawan yang mukanya diwarnai merah laiknya Buta Cakil ! Atau seperti begawan Durna yang mendidik dengan metodologi yang ugal-ugalan, tetap saja Harjuna muridnya yang playboy cap Kampak itu tetap sangat menaruh hormat kepada sang Guru.
Di Jaman Landa menjajah negeri kita, kaum Guru menempati posisi terhormat pula. Kaum Guru seperti Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawannya menjadi motor dan rujukan kaum pergerakan kala itu. Mereka ibarat oase dimana masyarakat dapat bertanya; mereka adalah panutan dimana masyarakat berkiblat dalam berpikir dan bertindak.

Mereka kaum Guru itu memanglah di atas rata-rata. Kecerdasan dan pengetahuan mereka di atas rata-rata masyarakat, termasuk juga penghasilannya. Maka adalah sesuatu yang wajar bila kaum Guru, kala itu, merupakan kaum terpandang.

Guru Koruptor ?

Pada momentum Hari Guru seperti di awal bulletin - adalah saat tepat bagi kita, para guru bin ustadz bercermin; “ndeleng githoke dhewek !” kata Aa Gym Warjito yang sedang menjalani masa pembuangan oleh Rezim yang tengah berkuasa.
Syukur Budiarjo, yang juga guru SLTP Neg. 79 Jakarta Pusat (Kompas, 15 Desember 2003 hal 40) memberikan otokritik yang lumayang menggigit.
“Ora usah kesuh rika Kang Tuk; soale angger kesuh malah diarani nglakoni !”kata Kang Si-Mul.
“Padahal iya !” Om Nang nyerobot.
Dibawah judul 'Guru sebagai Pelaku Korupsi?', Syukur Budiharjo menengarai 5(lima) jenis korupsi yang sering dilakukan kaum Oemar Bakri, yaitu :
 Guru sebagai koruptor waktu; bentuknya terlambat masuk kelas,dan membolos;
 Guru sebagai manipulator nilai; Umumnya terjadi karena tekanan birokrasipendidikan melalui tangan kepala sekolah, guru terpaksa memanipulasi nilai agar naik kelas dan lulus ujian. Ketika ini berlangsung bertahun maka jadilah kebiasaan memberi bonus nilai kepada siswa untuk meraih prestasi semu;
 Guru sebagai pedagang dan calo barang dan jasa; Guru mengambil fungsi toko dan pedagang kaki lima : jual seragam, pakaian olahraga, buku pelajaran, topi, sepatu, ikat pinggang,sampai buku tulis ! Selain berdagang, guru jugasebagai calo : dalam penyelenggaraan studi tur, perpisahan, tes intelegensia (IQ), dan pemberian ijin kepada pedagang untuk mempromosikan dan menjual barang dagangan kepada siswa;
 Guru sebagai pembeli jabatan; Misalnya jabatan kepala sekolah. Meskipun harganya puluhan juta. Promosi kepala sekolah dengan politik uang ini memicu timbulnya perilaku kepala sekolah yang korup.
 Guru sebagai koruptor dana; Kepala sekolah bekerjasama dengan elit sekolah mengorupsi dana yang tidak sedikit jumlahnya : apakah itu dana BOP, DBO, block grant adalah contoh dana yang paling empuk untuk dikorup. Korupsi jenis ini merupakan korupsi yang sistemik karena melibatkan pejabat pendidikan pada level atas kepala sekolah. Agar tidak mudah diketahui pihak lain, elit sekolah menutup akses ke asal sumber dana. Jangankan orang tua siswa atau masyarakat, guru saja tidak menembusnya. Dengan dusta, tipu daya, tanpa rasa malu, dan tidak takut dosa, dana-dana itu dikorupsi dengan berbagai strategi : program fiktif, kuitansi fiktif, sumber pembiayaan yang dibuat tumpang tindih dsb.

“Nah, padha ngaku apa ora ? Primen kiye Kang Darma ?”

Wallahu a'lam bishawab !

Lanjut membaca “Hari Guru dan Idul Fitri”  »»

Partisipasi Anak Dalam pengambilan Keputusan

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah usia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Melihat definisi Anak tersebut, maka dapat dipastikan semua murid Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan sebagian besar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk kategori anak.Dalam praksis penyelenggaraan sekolah, semestinya, anak (baca : murid) menduduki posisi sebagai subjek, dalam arti segala pengambilan keputusan adalah demi anak, terpusat pada anak, dan harus selalu berpikir yang terbaik untuk anak (the best interest of the child). Artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik untuk anak menjadi pertimbangan yang utama. Namun fakta yang ada dalam penyelenggaraan sekolah, anak cenderung diposisikan sebagai objek dan diperlakukan 'tidak adil'. Anak dipersepsi dari sudut pandang orang dewasa, seperti guru, kepala sekolah, staf tata usaha, komite sekolah, dan juga orang tua murid.
Ambillah contoh sederhana betapa anak diposisikan sebagai objek dan diperlakukan tidak adil - misalnya dalam hal tata tertib sekolah. Hampir semua tata tertib sekolah cenderung hanya mengatur siswa. Sangat jarang sebuah tata tertib sekolah yang menyeluruh (komphrehensif), yang mengatur seluruh perkehidupan sekolah, termasuk juga mengatur guru, kepala sekolah, dan atau tamu-tamu yang datang ke sekolah. Merokok misalnya, dalam tata tertib sekolah, hanya siswa yang dilarang merokok di sekolah tentu dengan segala ancaman sangsi. Nyaris tidak satupun tata tertib sekolah yang juga mengatur larangan merokok untuk para guru, kepala sekolah, karyawan, dan atau tamu-tamu yang datang ke sekolah. Padahal kalau mau konsisten aturan tentang (me) rokok bahkan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Pasal 24 PP No. 81 Tahun 1989 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan jelas dinyatakan : Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok. Juga dalam Pasal 22, PP No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dinayatakan : Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.Artinya, yang dilarang merokok di sekolah semestinya tidak hanya anak (murid), tapi justru yang pertama dan utama dilarang merokok di sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawan, dan bahkan tamu-tamu yang datang ke sekolah. Faktanya? Justru (sebagian) orang-orang dewasa itulah, kepala sekolah, guru, karyawan yang memberi contoh sangat buruk : merokok di sekolah!
Hal-hal tersebut diatas bisa terjadi karena tata tertib sekolah disusun hanya oleh guru, bahkan terkadang hanya oleh satu guru (bagian kesiswaan) dan atau kepala sekolah saja tanpa melibatkan sang subjek, yakni : Anak. Maka adalah 'wajar' saja kalau kemudian banyak anak yang melanggar tata tertib sekolah, atau melaksanakan tata tertib sekolah sebagai sebuah keterpaksaan saja, karena takut dihukum dan sama sekali bukan karena adanya kesadaran dan keikhlasan.
Partisipasi Anak? Partisipasi anak dalam pengambilan keputusan di sekolah, khususnya keputusan-keputusan yang langsung terkait dengan anak, adalah sebuah keniscayaan. Paradigma pendidikan (baca : sekolah), selain prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, juga partisipatif. Partisipatif disini, khususnya dalam hal proses perencanaan dan kontrol. Namun ada kendala yang cukup serius agar kondisi ini tercapai. Masyarakat kita yang berciri paternalistik, dengan struktur yang sangat kaku, cenderung menem-patkan anak pada posisi paling rendah dan atau tidak proporsional dan kepen-tingan anak selalu saja dikaitkan dengan kepentingan orang tua. Anak-anak tidak pernah didengarkan suaranya, malah dalam banyak hal, suara orang tua (di rumah) dan orang dewasa lain (di luar rumah) dianggap mewakili suara anak-anak (Maria Hartiningsih, 2006)
Bagaimana anak bisa berpartisipasi? Dapatkah anak-anak dengan pengetahuan yang minim dan belum berpengalaman itu harus terlibat atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Apakah tidak malah bubrah? Pertanyaan sejenis ini memang sering muncul ketika para orang dewasa hendak mencoba melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan. Memang, karena usianya yang relatif muda, kebanyakan anak belum mampu merumuskan pikiran, keinginan, dan perasaannya secara runtut dengan bahasa yang terstruktur rapi. Namun anak-anak pasti tahu apa yang dipikirkan, diinginkan, dan dirasakannya dan orang tua pasti juga tahu apa substansi pokok dari pikiran, keinginan, dan perasaan anak bila mau mendengarkannya. Dan substansi itulah yang semestinya harus didengarkan, diakomodir, dituangkan dalam sebuah kebijakan, untuk kemudian dilaksanakan..
De Jure, penghargaan terhadap partisipasi dan atau pendapat anak tercantum dalam salah satu Prinsip Konvensi Hak Anak (KHA) : bahwa pendapat anak terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Demikian pula dengan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pun dalam UU No. 23/2002 tercantum prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Disamping prinsip dasar lainnya yaitu : prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
Khusus dalam kaitannya dengan praktik penyelenggaraan sekolah, peluang adanya partisipasi anak bahkan secara fundamental diatur dalam Kepmendiknas No. 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendik-nas ini tertera bahwa salah satu anggota Komite Sekolah adalah perwakilan peserta didik (baca : murid, anak). Dengan peran Komite Sekolah sebagai lembaga pendukung (supporting agency), pemberi pertimbangan (advisory agency), mediator, dan pengontrol (controlling agency), maka semestinya anak-anak bisa ikut berpartisipasi dan mempengaruhi hampir semua pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Namun sekali lagi faktanya : amat jarang orang dewasa yang memberikan peluang agar perwakilan anak (peserta didik) ini duduk sebagai anggota Komite Sekolah apalagi untuk memperhatikan dan bersungguh-sungguh mendengarkan aspirasi anak.
Anak perlu diberi peluang bicara, berpartisipasi, salah satu tujuannya adalah untuk melatih dan menumbuhkan tanggungjawab, kepedulian, dan agar anak mengerti berbagai persoalan sekolah (dan bangsanya), dengan harapan kelak dewasa tidak lagi menjadi orang yang tidak peduli, gagap, dan gamang terhadap persoalan di sekitarnya.Ambillah contoh tentang tata tertib sekolah di atas. Bila anak selaku subjek utama sekolah, dan seluruh warga sekolah (walau dalam kondisi tertentu, hanya perwakilan) terlibat dan berpartisipasi dalam proses penyusunan tata tertib sekolah, maka diharapkan anak bisa mengerti dan memahami mengapa dan bagaimana sebuah aturan dalam tata tertib harus dimunculkan. Misalnya sebuah tata tertib di sebuah SMP tertera siswa dilarang membawa sepeda motor ke sekolah. Maka akan dengan mudah anak memahami aturan ini bila dalam proses penyusunan-nya dibuat secara partisipatif (melibatkan anak) dan ada penjelasan bahwa : setiap pengendara sepeda motor harus memiliki SIM, dan syarat kepemilikan SIM berusia minimal 17 tahun. Dan ketika aturan itu disepakati bersama masuk dalam tata tertib sekolah, maka anak akan menaatinya dengan kesadaran, dan bukan karena takut akan sangsi.
(D_224)

Lanjut membaca “Partisipasi Anak Dalam pengambilan Keputusan”  »»

Udud


Assalamu'alaikum Wr. Wb. Langsung saja ya Bu Rustri. Sebelum dilaksanakannya rekrutment kepala sekolah tahun 2006 ini, dengan kerendahan hati saya usulkan :
A. Mohon kiranya Surat Keputusan Bupati tentang Rekrutmen Kepala Sekolah (maaf nomor Skep-nya saya lupa) terlebih dahulu dilakukan revisi dengan memasukkan konsideran Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
B. Perlu Ibu ketahui dalam PP 19/2003 dalam pasal 22 dinyatakan : Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.
C. Juga dalam PP 81 Tahun 1999, dalam pasal 24 dinyatakan : Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok.
D. Untuk hal di atas, menurut hemat saya syarat seorang kepala sekolah adalah tidak merokok. Karena bagaimana mungkin seorang kepala sekolah bisa menegakkan aturan di PP 19/2003, bila dirinya tidak dapat memberi contoh.
E. Bahkan menurut hemat saya Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan -Red) semestinya memasukkan syarat PP 19/2003 pasal 22 ini sebelum memilih seorang pejabat. Semoga usulan saya dapat dijadikan bahan pertimbangan Ibu Bupati dalam mengambil keputusan.Matur nuwun. Salam untuk Pak Sony. (Pak Sony tidak merokok to Bu? Beruntunglah Ibu, sebab kalau suami merokok maka Ibu akan menjadi perokok pasif/second hand smoke yang bahkan kata para ahli lebih berbahaya ketimbang perokoknya sendiri).
Wassalamu'alaikum Wr Wb.
SakingBapake Ifa.(
Transkrip suara Omar Sara yang membacakan surat pendengar/pemirsa pada ‘Selamat Pagi Bupati”, 9 Pebruari 2006).

Pagi itu, yang hadir adalah Wakil Bupati Kebumen, KH. Nashirudin Al-Mansyur. Beliaupun menjawab :Sebuah saran masukan yang baik sekali, apalagi disitu menyebutkan dasar hukum aturan PP-nya, mudah-mudahan ini menjadi perhatian dari Bagian Hukum untuk bisa memasukkan dalam konsideran sepanjang itu memang aspek hukum nya bisa masuk dalam konsideran itu.

---0---

Bapake Ifa yang terhormat, saya terhenyak mendengar usul Anda. Saya pastikan banyak orang akan tersinggung dengan usul Anda. Tapi saya sebagai pribadi sangat setuju usul Anda. Saya adalah orang yang dikarunia Tuhan alergi terhadap asap rokok. Kalau tercium asap rokok, rasanya pusing dan mual seperti orang mabuk kendaraan. Saya sangat menderita (dan jengkel) kalau tercium asap rokok. Kalau pas di kantor atau ruangan yang banyak orang merokok masih mending, karena saya bisa keluar ruangan untuk mengirup udara segar - tapi kalau di kendaraan umum? Apakah saya mesti turun di tengah jalan untuk sekedar mengirup udara segar?Tapi perasaan jengkel itu saya tekan dalam-dalam, karena saya seorang pengecut : tidak berani menegur penumpang lain yang merokok - apalagi menegur teman guru yang merokok di kantor. Jadi saya seolah menemukan sedulur setiap kali ada orang yang mengusulkan seperti usul Anda. Di sekolah saya yang dulu (sebelum di SMA Negeri Gombong), saya pernah mencoba berjuang agar kantor guru bebas dari asap rokok. Berbagai cara saya lakukan, mulai dari komunikasi personal hingga usul di forum rapat guru. Hasilnya nihil. Teman-teman guru perokok itu seolah membuta tuli. Setelah itu saya tidak berani lagi memperjuangkan kantor guru bebas rokok. Bahkan ketika saya menjadi ‘kepala suku’ di sebuah lembaga dan mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam PP 19/2003 dan PP 81/1999, saya tetap menjadi pengecut : tidak berani mengupayakan kawasan bebas rokok di ‘kantor’ dimana saya sebagai ketuanya. Saya takut menyinggung perasaan teman-teman.Saya sebenarnya hanya ingin mereka (para perokok itu) tidak membagi asap rokok itu pada saya. Silahkan asap rokok itu dinikmati sendiri. Andaikan merokok itu seperti makan permen, yang apapun rasanya, mereka telan sendiri, bagi saya silahkan saja.
Bapake Ifa yang terhormat. Pernah saya tanya kepada teman yang merokok, apakah tidak ingin berhenti merokok. Ada beragam jawaban. Ada yang mengatakan lebih baik tidak makan ketimbang tidak merokok. Perokok yang lain bilang katanya agar para buruh rokok bisa tetap bekerja. Ada lagi perokok yang bilang : Lha kae deneng Kakine Inyong udude menyan lintingan, umure bisa sangang puluh tahun, lha tanggaku sing ora udud isih enom wis mati. Sekarang saya tidak pernah lagi tanya-tanya ihwal rokok.Tapi saya tetap bertanya-tanya dalam hati : bagaimana mereka, para perokok itu, bisa menganjurkan stop narkoba, lha wong mengatasi ndatuknya rokok saja tidak mampu. Bagaimana bisa para guru perokok itu bisa menasehati muridnya agar tidak merokok, lha wong dirinya udud nglepus tak peduli di sekolah, bahkan sebagian ada yang nekad tetap udud ketika mengajar di kelas!
Bapake Ifa yang terhormat, Alhamdulillah Sejak 1 Muharam 1425 H lalu, kantor guru dimana saya bekerja tidak ada lagi orang merokok. Tapi bukan karena saya perjuangkan, tapi karena dipasangi pendingin udara (AC)!.
(@Guspur)

Lanjut membaca “Udud”  »»

Nggo Ngapa Sekolah

Oleh : Agus Purwanto

Pada sebuah 'kunjungan' di sebuah SD kecamatan Buayan. Saya sempat ngobrol santai dengan anak-anak kelas 6. Pada siswa yang badannya paling bongsor, saya ajukan pertanyaan : "Mas besok lulus SD mau melanjutkan ke SMP mana?"

"Nggo ngapa sekolah?" Jawab dan tanya Si Bongsor nyaris tanpa ekspresi.
Saya tercekat. Blangkemen.


Ya, nggo ngapa sekolah? Nggo ngapa sekolah? Pernyataan dan atau pertanyaan kritis - kadang ada yang menilai sebagai pernyataan subversif - seperti ini sudah sering dilontarkan oleh banyak ahli pendidikan. Kali ini bahkan dengan lugas keluar dari seorang anak kita.
Pertanyaannya : Apakah kita akan terus dalam kejumudan, dengan membuta tuli terhadap suara-suara kritis terhadap lembaga bernama sekolah? Atau kita akan membuka hati, membuka nurani, membuka akal kita dengan jujur mengakui terhadap kondisi sekolah.Ya, Mas Bongsor, nggo ngapa sekolah -kalau sekolah hanya diajar oleh guru-guru yang tidak kompeten mengajar dan mendidik.Kamu tahu Mas Bongsor? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kompetensi guru-guru kita sangat rendah. Di Kebumen misalnya, hasil uji kompetensi guru-guru mata pelajaran SMP tahun 2003 hanya mencapai nilai rata-rata 39.01. Sementara Standard Pelayanan Minimal (SPM) mengharuskan guru memiliki nilai 75. Bagaimana guru-guru dengan kompetensi sangat rendah itu bisa membawa anak-anak didiknya lulus Ujian Nasional yang mematok nilai minimal 4,25 untuk bisa lulus? Itu di Kebumen Jawa tengah - bagaimana kondisinya di daerah luar Jawa? Dampak lainnya, akibat guru-guru yang kurang kompeten, maka potensi terjadinya penyesatan (misleading) dalam pembelajaran makin membesar. Murid-murid 'yang tersesat' ini bukannya tambah cerdas, bisa-bisa otaknya 'hang'. Bandingkan dengan dunia penerbangan. Bila seorang pilot karena sesuatu hal diketahui tidak kompeten, maka sang pilot mutlak harus di-grounded (tidak diperkenankan menerbangkan pesawat), karena bisa membahayakan penerbangan.
Ya, Mas Bongsor, nggo ngapa Sekolah!; Kalau sekolah justru hanya membuat ketidakseimbangan otak anak-anak kita, dengan hanya mendewa-dewakan nilai akademik. Mengutip Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul 'ESQ' “ …pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang : integritas; kejujuran; komitmen; visi; kreatifitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan; prinsip kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi, padahal inilah yang terpenting”.
Ya, Mas Bongsor, Nggo ngapa Sekolah!; Kalau di sekolah justru terjadi praktek-praktek penindasan, penistaan, dan sikap antidemokrasi!Lihatlah praktek Masa Orientasi Siswa (MOS). Masih juga terlihat murid-murid baru yang disuruh menggunakan krusu (krusu, adalah 'tas' ayam - terbuat dari anyaman daun kelapa/blarak, dan biasa digunakan untuk membawa ayam) untuk membawa buku-buku dan peralatan sekolah. Masih terlihat murid-murid baru di masa MOS yang disuruh memakai topi helm terbuat dari separo bola plastik yang diberi tali rafia kiri kanan. Juga murid baru yang berkalung untaian brambang, bawang, lombok dan bumbu dapur lainnya. Atau berkalungkan rafia dengan papan nama karton dengan nama-nama yang sungguh menistakan : Kadal, Precil, Limbuk, Dlongop, ... Belum lagi praktek-praktek penindasan dan penistataan terhadap harkat manusia lain : bentakan, makian, dan perintah-perintah lain yang sangat keterlaluan dan tidak jelas maksud dan tujuannya selain upaya mempermalukan. Semua itu berdalih ujian mental!Para guru dan kepala sekolah mungkin akan berkilah : itu ulah kakak-kakak senior. Tapi bukankah ada guru pembimbing? Andai bukan perintah guru pembimbng - mustahil kalau praktek-praktek penistaan itu tidak diketahui guru. Praktek MOS cenderung menjadi perpeloncoan yang sangat jauh dari nilai-nilai pendidikan. Dan ini telah berlangsung puluhan tahun hingga kini. Nggo ngapa Sekolah!; Kalau di sekolah murid-murid justru diajak bersekongkol mencurangi Ujian Nasional!Praktek kecurangan pada Ujian Nasional di sebagian sekolah sudah merupakan rahasia umum. Nuansa kecurangan pada Ujian Nasional, sejak dari bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Nasional), telah ada. Dulu ketika jaman EBTA(NAS), ketika koreksi masih dilakukan dengan manual (dengan bolongan obat nyamuk), sudah menjadi kelaziman terdengar 'perintah' dari kordinator koreksi : “Untuk lancar dan suksesnya EBTANAS, harap hasilnya ditambah 1,5 apalagi untuk anak-anak kita yang bernilai rendah”.Ketika Ujian Nasional menggunakan Lembar Jawab Komputer, LJK (proses koreksi menggunakan komputer), kecurangan dilakukan di ruang panitia ujian. Caranya tim sukses sekolah 'memperbaiki' LJK peserta ujian, agar hasil ujian tidak terlalu parah.Tahun terakhir, ketika Prosedur Operasional Standar (POS) mewajibkan pengeleman amplop LJK dilakukan di ruang ujian, ada sekolah bahkan mengajak murid-murid peserta ujian bersekongkol mencurangi ujian. Modus operandinya dengan pesan singkat (SMS) ponsel. Atau dilakukan dengan terang-terangan melalui pengumuman : “Pengumuman. Bagi peserta ujian yang belum mengembalikan pinjaman buku-buku perpustakaan diharap segera mengembalikannya. Berikut nama-nama yang belum mengembalikan buku ke perpustakaan yaitu 1. Dodo, 2. Bambang, 3. Cahyadi, 4. Eko, 5. Agus, 6. Bagyo, 7. Dini ...” Jangan harap Anda menemukan ada murid bernama Zakaria, Parjoko, Toni - karena tidak ada pilihan jawaban Z(akaria), P(arjoko), atau T(oni).Dan hebatnya, pihak Dinas Pendidikan di daerah-daerah dan Depdiknas diam saja melihat kecurangan ini. Barangkali karena Depdiknas pernah melakukan 'kecurangan' serupa dengan melakukan konversi nilai UN yang berakhir heboh beberapa tahun lalu.
Nggo ngapa Sekolah!; Kalau sekolah telah berubah fungsi sebagai pasar atau toko. Lihatlah ketika awal tahun ajaran baru. Sekolah mengambil peran toko atau pasar. Kecuali celana dan baju seragam, sekolah juga menjual buku-buku, ikat pinggang, topi, celana dan kaos olahraga, kaos kaki. Kalau di toko atau pasar, harga baju masih bisa ditawar dan bersaing dengan toko-toko lain. Jangan harap kita bisa menawar barang-barang yang ada di toko bernama 'sekolah'. Belum lagi bisnis kagetan lainnya seperti study tour dan sejenisnya.Bahkan kamu tahu Mas Bongsor, sebagian sekolah dan birokrasi pendidikan pun sekarang ikut-ikutan jadi bakul batik! Mending kalau harganya bersaing, lha wong jatah APBD 85.000 rupiah/baju batik, dibelikan baju batik dengan kualitas yang di pasaran paling banter harga 40.000 rupiah!
Nggo ngapa Sekolah!; Kalau anak-anak kita hanya akan dijadikan 'tikus-tikus' percobaan kurikulum!Ramalan bahwa KBK akan menjadi Kurikulum Bakalan Kacau, benar-benar terjadi. Kurikulum Berbasis Kompetensi, ada juga yang menyebut Kurikulum 2004 atau dengan nama apapun, semula hanya berupa uji-coba di beberapa sekolah. Namun semua latah, walau KBK belum ada landasan hukumnya (berupa peraturan Menteri seperti lazimnya), hampir semua sekolah ber-KBK-ria. Tak peduli apakah guru-gurunya mudheng atau belum, tak peduli apakah kondisi sekolah sudah siap atau belum, pokoknya KBK. Kalau tidak ber-KBK takut dianggap sekolah yang ketinggalan jaman. Korban dari percobaan bernama KBK, tidak lain adalah murid dan masyarakat. Biaya milliaran rupiah sudah dikeluarkan negara untuk pelatihan guru dan aparatus pendidikan untuk ber-KBK. Belum lagi biaya yang dikeluarkan orang tua murid untuk membeli buku-buku yang berlabel KBK (yang isinya belum tentu sama dengan merk sampulnya). Kabar terakhir Mendiknas telah menanda tangani kurikulum 'baru' bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KSTP). Hebatnya KTSP ini harus disusun oleh dua komponen utama : Sekolah (kepala sekolah dan guru) dan Komite Sekolah! Namun (maaf seperti biasanya) kita harus siap mental, kurikulum yang luar biasa ideal ini akan berakhir menjadi : Kurikulum KaTe SiaPe.
Nggo ngapa Sekolah!; Kalau manajemen sekolah sakobere dan sakepenake. Ada yang lucu Mas Bongsor, ini rahasia kita berdua ya... . Para pengawas (di SMP dan SLTA), dulu rekrutmennya untuk pengawas mapel - eh sekarang diberi tugas tambahan menjadi pengawas manajemen (sekolah). Lha wong sebagian pengawas itu belum pernah jadi kepala sekolah dan belum pernah mendapat ilmu manajemen sekolah, lha kok sekarang disuruh mengawasi manajemen sekolah! Apa itu tidak ngawur Mas Bongsor?
Gejala terjadinya proses pembusukan di sekolah kian nyata - dan belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh untuk menghenti-kannya - apalagi menyembuhkannya.
Mas Bongsor, saya sangat menghormati pilihan dan keberanianmu : untuk tidak sekolah!Ya Mas Bongsor, kamu sama sekali tidak wajib sekolah. Pemerintah tidak pernah mewajibkan warga negaranya untuk sekolah - namun belajar! Wajib belajar! Dan tidak seorangpun berhak memaksamu untuk sekolah!Dan belajar bisa dimana saja, kapan saja - tidak harus di sekolah! Tidak sekolah sama sekali tidak masalah! Yang penting ciptakan budaya belajar. Tidak masalah kamu tidak sekolah - tapi tetaplah belajar, dimanapun kamu berada. Teruslah belajar dari kehidupan. Jadilah manusia pembelajar! (d_224@plasa.com)

Lanjut membaca “Nggo Ngapa Sekolah”  »»

21 December 2007

Tantrum


Andi menangis, menjerit-jerit dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah hypermarket di Jakarta? Ibunya sudah berusaha membujuk Andi dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun Andi malah semakin menjadi-jadi. Ibunya menjadi serba salah, malu dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun disisi lain, kalau tidak dibelikan maka ia kuatir Andi akan menjerit-jerit semakin lama dan keras, sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orangtua yang kejam. Ibunya menjadi bingung....., lalu akhirnya ia terpaksa membeli mainan yang diinginkan Andi. Benarkah tindakan sang Ibu?


Lanjut membaca “Tantrum”  »»

20 December 2007

Problem Kelekatan

Setiap mulainya tahun ajaran baru, banyak orangtua sibuk mendorong sang batita dan balita agar segera masuk sekolah. Ternyata masalah tidak berakhir setelah niat nya kesampaian, karena sang batita dan balita kok malah rewel dan nangis terus....pengasuhnya harus kelihatan olehnya..kalau tidak, bisa panik.... Ada pula yang ngadat nggak mau sekolah ...Ada pula yang susah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mojok terus dan membisu, kalau didekati guru malah ketakutan.....Sementara itu, ada pula orangtua yang pusing karena mendapat laporan guru kalau anaknya suka memukuli teman di kelas.....

Problem tersebut banyak dialami oleh anak-anak terutama pada saat mereka menghadapi situasi, lingkungan atau orang baru. Berbagai sikap dan perilaku aneh kemudian muncul sebagai reaksi terhadap ketidaknyamanan yang dirasakannya. Namun demikian, tidak setiap anak mengalaminya karena ada pula yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bahkan bisa menjalin komunikasi yang interaktif dengan teman-teman serta gurunya. Sebenarnya, keberadaan problem tersebut bisa menjadi pertanda adanya masalah psikologis yang harus dicermati oleh orangtua agar bisa diketahui faktor penyebab dan strategi yang bisa dilakukan untuk menanganinya agar problem ini tidak sampai berlarut-larut dan mengganggu perkembangan psikologis dan kemampuan sosial sang anak.

Berawal dari Pola Hubungan Orangtua-Anak

Dari kaca mata psikologi, banyak masalah yang dialami anak-anak antara lain bersumber dari pola hubungan yang buruk antara orangtua dengan anak atau penyebab lain yang akan dibahas kemudian. Dalam artikel ini akan dibahas seputar pentingnya kelekatan hubungan yang positif antara anak dengan orangtua dan pengaruhnya bagi perkembangan psikologis sang anak.
Apakah yang disebut kelekatan ?
Banyak orang takut jika kelekatan antara bayi dengan ibunya bisa membuat anak jadi “bau tangan”, manja, dan cengeng sehingga muncul nasehat-nasehat seperti : kalau anak menangis, biarkan saja...tidak usah ditanggapi...nanti juga diam sendiri...dia cuma minta perhatian...Latihlah disiplin...mereka sekali-sekali harus dikerasi supaya tidak manja....Jangan sering-sering memeluk anak, nanti dia bisa menjajah orangtuanya....Jangan sering-sering mencium anak, nanti dia jadi manja...Bayi jangan sering-sering dipeluk atau digendong.....taruh saja di tempat tidur biar tidak bau tangan.....

Begitulah nasehat-nasehat yang sering diperdengarkan pada calon ibu atau ibu-ibu muda kita. Nasehat tersebut kerap kali membuat mereka jadi bingung karena pada prakteknya sering mengalami konflik batin, antara keinginan untuk memberi perhatian penuh dengan kekhawatiran kelak anak jadi manja atau tidak tahu diri. Para ahli psikologi perkembangan dewasa ini makin menilai secara kritis pentingnya kelekatan (positif) antara anak dengan orangtua. Kelekatan adalah sebuah proses berkembangnya ikatan emosional secara resiprokal (timbal balik) antara bayi/anak dengan pengasuh (orangtua). Kelekatan yang baik dan sehat dialami seorang bayi yang menerima kasih sayang yang stabil dari kehadiran orangtua yang konsisten; sehingga bayi atau anak dapat merasakan sentuhan hangat, gerakan lembut, kontak mata yang penuh kasih dan senyuman orangtua.
Apakah manfaat dari hubungan kelekatan antara anak-orangtua ?
Rasa percaya diri
Perhatian dan kasih sayang orangtua yang stabil, menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berharga bagi orang lain. Jaminan adanya perhatian orangtua yang stabil, membuat anak belajar percaya pada orang lain.
Kemampuan membina hubungan yang hangat
Hubungan yang diperoleh anak dari orangtua, menjadi pelajaran baginya untuk kelak diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa. Kelekatan yang hangat, menjadi tolok ukur dalam membentuk hubungan dengan teman hidup dan sesamanya. Namun hubungan yang buruk, menjadi pengalaman traumatis baginya sehingga menghalangi kemampuan membina hubungan yang stabil dan harmonis dengan orang lain.
Mengasihi sesama dan peduli pada orang lain
Anak yang tumbuh dalam hubungan kelekatan yang hangat, akan memiliki sensitivitas atau kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan sekitarnya. Dia mempunyai kepedulian yang tinggi dan kebutuhan untuk membantu kesusahan orang lain
Disiplin
Kelekatan hubungan dengan anak, membuat orangtua dapat memahami anak sehingga lebih mudah memberikan arahan secara lebih proporsional, empatik, penuh kesabaran dan pengertian yang dalam. Anak juga akan belajar mengembangkan kesadaran diri, dari sikap orangtua yang menghargai anak. Sikap menghukum hanya akan menyakiti harga diri anak dan tidak mendorong kesadaran diri. Anak patuh karena takut.
Pertumbuhan intelektual dan psikologis
Bentuk kelekatan yang terjalin, kelak mempengaruhi pertumbuhan fisik, intelektual dan kognitif serta perkembangan psikologis anak.
Faktor Penyebab Gangguan Kelekatan Pada Anak

Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak tidak mendapatkan kelekatan kasih sayang yang tulus, hangat dan konsisten dari kedua orangtuanya. Dan menurut ahi psikologi perkembangan, hingga usia 2 tahun adalah masa paling kritis. Erik Erikson, seorang bapak perkembangan berpendapat, masalah yang terjadi dalam masa-masa tersebut berpotensi mengganggu proses perkembangan psikologis yang sehat.

Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan orangtua/pengasuh
Perpisahan traumatik bagi seorang anak bisa berupa : kematian orangtua, orangtua dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus hidup tanpa orangtua karena sebab-sebab lain
Penyiksaan emosional (dan pengabaian), penyiksaan fisik atau pun penyiksaan seksual
Setiap anak rentan terhadap penyiksaan emosional maupun fisik dari orangtua/pengasuh sebagai bagian dari pola asuh dan interaksi sehari-hari (lihat artikel: Penyiksaaan & Pengabaian Terhadap Anak). Sistem pendidikan tradisional yang seringkali menggunakan cara hukuman (baik fisik maupun emosional) untuk mendidik dan mendisiplinkan anak. orangtua sering bersikap menjaga jarak dan bahkan ada yang membangun image “menakutkan” agar anak hormat dan patuh pada mereka. Padahal cara ini malah membuat tumbuh menjadi pribadi yang penakut, mudah berkecil hati dan tidak percaya diri. Anak akan merasa bukan siapa-siapa atau tidak bisa berbuat apa-apa tanpa orangtua. Sementara itu, penyiksaan seksual tidak mustahil terjadi pada anak, yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya, entah itu orangtua maupun anggota keluarga atau pihak lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena orang tersebut mengalami problem psikologis yang menyebabkan dirinya mengalami hambatan pengendalian dorongan seksual.
Pengasuhan yang tidak stabil
Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang, bergantian, tidak menetap oleh satu/dua orangtua, menyebabkan ketidakstabilan yang dirasakan anak, baik dalam hal “ukuran” cinta kasih, perhatian, kelekatan dan kepekaan respon terhadap kebutuhan anak. Anak jadi sulit membangun kelekatan emosional yang stabil karena pengasuhnya selalu berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak mempengaruhi kemampuannya menyesuaikan diri karena anak cenderung mudah cemas dan kurang percaya diri (merasa kurang ada dukungan emosional).
Sering berpindah tempat/domisili
Seringnya berpindah tempat membuat proses penyesuaian diri anak menjadi lebih sulit, terutama bagi seorang batita atau balita. Situasi ini akan menjadi lebih berat baginya jika orangtua tidak memberikan rasa aman dengan mendampingi mereka dan mau mengerti atas sikap/perilaku anak-anak yang mungkin saja jadi “aneh” akibat dari rasa tidak nyaman saat harus menghadapi orang baru. Tanpa kelekatan yang stabil, reaksi negatif anak (yang sebenarnya normal) akhirnya menjadi bagian dari pola tingkah laku yang sulit diatasi.
Ketidakkonsistenan cara pengasuhan
Banyak orangtua yang tidak konsisten dalam mendidik anak. Misalnya, pada suatu saat orangtua menghukum anak dengan sangat keras, tapi di lain waktu (mungkin karena merasa bersalah) memenuhi semua keinginan anak (misal membelikan mainan mahal). Ketiadaan kepastian sikap orangtua, membuat anak sulit membangun kelekatan tidak hanya secara emosional tetapi juga secara fisik. Sikap orangtua yang tidak dapat diprediksi, membuat anak bingung, tidak yakin dan sulit mempercayai (dan patuh) pada orangtua.
Problem psikologis yang dialami orangtua
Orangtua yang mengalami problem emosional atau psikologis sudah tentu membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi anak. Hambatan psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi atau problem stress yang sedang dialami orangtua tidak hanya membuat anak tidak bisa berkomunikasi dan ngobrol enak dengan orangtua, tapi membuat orangtua kurang peka terhadap kebutuhan dan masalah anak. Bahkan, orangtua sering terlalu sensitif dan emosional, menjadi lebih pemarah dan kurang sabar menanggapi perilaku anak-anak. Tidak jarang anak dimarahi atau dipukul, disiksa, atau diberi perlakuan yang sangat tidak proporsional dibandingkan dengan “kenakalan” yang dilakukan. Tindakan tersebut beresiko menghancurkan harga diri seorang anak.
Problem neurologis/syaraf
Ada kalanya, gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi proses persepsi atau pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak dapat merasakan adanya perhatian yang diarahkan padanya. Contohnya, ada kasus seorang bayi yang rewel terus dan restless karena dalam tubuhnya terdapat unsur cocaine, atau zat addictive yang sudah mempengaruhi pertumbuhan struktur syaraf otak sejak masa konsepsi (pembentukan jaringan). Problem ini bisa disebabkan masalah alkoholisme atau obat-obatan yang biasa dikonsumsi orangtua sebelum dan selama masa kehamilan; atau karena efek samping obat-obatan yang harus diminum anak akibat penyakit yang sedang dideritanya.
Dampak Problem Kelekatan

Anak-anak yang kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi akibat problem kelekatan yang dialami, berpotensi mengalami masalah intelektual, masalah emosional dan masalah moral dan sosial di kemudian hari.
Masalah Intelektual
1. Mempengaruhi kemampuan pikir seperti halnya memahami proses “sebab-akibat” Ketidakstabilan atau ketidakkonsistenan sikap orangtua, mempersulit anak melihat hubungan sebab-akibat dari perilakunya dengan sikap orangtua yang diterimanya. Dampaknya akan meluas pada kemampuannya dalam memahami kejadian atau peristiwa-peristiwa lain yang dialami sehari-hari. Akibatnya, anak jadi sulit belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya.
2. Kesulitan belajar Kurangnya kelekatan dengan orangtua, membuat anak lamban dalam memahami baik itu instruksi maupun pola-pola yang seharusnya bisa dipelajari dari perlakuan orangtua terhadapnya atau kebiasaan yang dilihat/dirasakannya.
3. Sulit mengendalikan dorongan Kebutuhan emosional yang tidak perpenuhi, membuat anak sulit menemukan kepuasan atas situasi / perlakuan yang diterimanya, meski bersifat positif. Ia akan terdorong untuk selalu mencari dan mendapatkan perhatian orang lain. Untuk itu, ia berusaha sekuat tenaga, dengan caranya sendiri untuk mendapatkan jaminan bahwa dirinya bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Masalah Emosional
1. Gangguan bicara
Menurut sebuah hasil penelitian, problem kelekatan yang dialami anak sejak usia dini, dapat mempengaruhi kemampuan bicaranya. Dalam dunia psikologi, hingga usia dua tahun dikatakan sebagai masa oral, dimana seorang anak mendapat kepuasan melalui mulut (menghisap mengunyah makanan dan minuman). Oleh sebab itu lah proses menyusui menurut para ahli merupakan proses yang amat penting untuk membangun rasa aman yang didapat dari pelukan dan kehangatan tubuh sang ibu. Ada kemungkinan anak yang mengalami hambatan pada masa ini akan mengalami kesulitan atau keterlambatan bicara.Memang, secara psikologis anak yang merasakan ketidaknyamanan akan kurang percaya diri dalam mengungkapkan keinginannya. Atau, kurangnya kelekatan tersebut membuat anak berpikir bahwa orangtua tidak mau memperhatikannya sehingga ia lebih banyak menahan diri. Akibatnya, anak jadi tidak terbiasa mengungkapkan diri, berbicara atau mengekspresikan diri lewat kata-katanya. Ada pula penelitian yang mengatakan, bahwa melalui komunikasi yang hangat seorang ibu terhadap bayinya, lebih memacu perkembangan kemampuan bicara anak karena si anak terpacu untuk merespon kata-kata ibunya.
2. Gangguan pola makan
Ada banyak orangtua yang kurang responsif / kurang tanggap terhadap tangisan bayinya. Mereka takut jika terlalu menuruti tangisan bayinya, kelak ia akan jadi anak manja dan menjajah orangtua. Padahal, tangisan seorang bayi adalah suatu cara untuk mengkomunikasikan adanya kebutuhan seperti halnya rasa lapar atau haus. Ketidakkonsistenan orangtua dalam menanggapi kebutuhan fisiologis anak, akan ikut mengacaukan proses metabolisme dan pola makan anak.
3. Perkembangan konsep diri yang negatif
Ketiadaan perhatian orangtua, sering mendorong anak membangun image bahwa dirinya mandiri dan mampu hidup tanpa bantuan siapa pun. Image itu berusaha keras ditampilkan untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Padahal, dalam dirinya tersimpan ketakutan, rasa kecewa, marah, sakit hati terhadap orangtua, sementara ia juga menyimpan persepsi yang buruk terhadap diri sendiri. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa disingkirkan, merasa tidak berharga sehingga orangtua tidak mau mendekat padanya (dan, memang ia juga merasa tidak ingin didekati)Tanpa sadar semua perasaan itu diekspresikan melalui tingkah laku yang aneh-aneh, yang orang menyebutnya “nakal”, “liar”, “menyimpang”. Mereka juga terlihat suka menuntut secara berlebihan, suka mencari perhatian dengan cara-cara yang negatif, sangat tergantung, tidak bisa memperhatikan orang lain (tapi menuntut perhatian untuk dirinya), sulit mencintai dan menerima cinta dari orang lain.
Masalah Emosional
Anak akan sulit melihat mana yang baik dan tidak, yang boleh dan tidak boleh, yang penting dan kurang penting, dari keberadaan orangtua yang juga tidak bisa menjamin ada tiadanya, yang tidak dapat memberikan patokan moral dan norma karena mereka mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri, kesulitan dalam memenuhi kebutuhan emosional mereka sendiri, kesulitan dalam mengendalikan dorongan mereka sendiri. Akibatnya, anak hanya meniru apa yang dilihatnya dari orangtua dan mencari cara agar tidak sampai terkena hukuman berat. Tidak jarang anak-anak tersebut memunculkan sikap dan tindakan seperti : suka berbohong (yang sudah tidak wajar), mencuri (karena ingin mendapatkan keinginannya), suka merusak dan menyakiti (baik diri sendiri maupun orang lain), kejam, dan menurut sebuah penelitian, mereka cenderung tertarik pada darah, api dan benda tajam.
Bagaimana Membangun Kelekatan yang Baik Dengan Anak ?
Kesiapan mental untuk menjadi orangtua
Memiliki anak membawa implikasi yang luas, tidak hanya merubah peran dari suami /istri, menjadi seorang ayah/ibu. Ada komitmen dan tanggung jawab yang harus disadari dan dijalankan. Oleh sebab itu, perlu “hati dan pikiran” yang tenang untuk menjalani proses menjadi orangtua. Hati dan pikiran yang tenang, akan menciptakan rasa nyaman pada janin yang sedang dikandung; dan, jangan lupa bahwa ketenangan dan kesiapan hati tersebut mendorong keseimbangan hormon yang mendukung proses kehamilan yang sehat. Selain itu, kesiapan mental juga merupakan suatu kondisi yang diperlukan terutama untuk menghindari konflik dan ketegangan yang bisa muncul di antara suami-istri akibat perubahan yang terjadi. Kesiapan tersebut membuat masing-masing sadar dan berusaha menahan diri untuk tidak saling menyakiti, karena dilandasi kesadaran, bahwa kedua nya saling membutuhkan untuk saling menguatkan.
Ciptakan komunikasi yang hangat sejak dini
Berkomunikasi dengan anak tidak dimulai sejak anak lahir, melainkan sejak ia dalam kandungan. Sejak itu proses kelekatan pun dimulai. Berbicaralah padanya meski ia masih belum tampak secara lahiriah. Sapa lah dia, bernyanyilah untuknya dan pelihara/pertahankan kestabilan emosi. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa seorang anak bisa memahami apa yang terjadi dalam diri sang ibu meski ia belum lahir. Hal itu bisa dibuktikan dari munculnya kecenderungan tertentu yang ada pada anak, misalnya pencemas, super sensitif atau pemarah dihubungkan dengan persoalan yang sedang dihadapi sang ibu pada masa dan pasca kehamilannya.
Upayakan program menyusui
Proses menyusui, bukan hanya sekedar memberikan ASI yang berkualitas. Namun menyusui merupakan proses yang melibatkan dua belah pihak, bahkan tiga belah pihak : suami istri dan anak. Kegiatan menyusui merupakan moment yang sangat ideal untuk membangun kontak batin yang erat, melalui kelekatan fisik dan kontak mata yang intensif. Proses ini membutuhkan “hati” yang tenang dan penuh kasih, karena produksi ASI akan terpengaruh oleh faktor fisik dan emosional. Oleh sebab itu, perlu kerja sama yang baik dan sikap saling memahami serta saling menghargai antara suami-istri agar segala persoalan yang terjadi bisa diselesaikan dengan baik tanpa menyebabkan ketegangan dan tekanan emosional yang mengganggu hubungan dengan anak.
Tanggapilah tangisan bayi / anak secara positif
Banyak orangtua yang menganggap bahwa tidak baik selalu menanggapi tangisan bayi, karena bayi perlu dilatih untuk tidak menjadi manja dan supaya jantungnya kuat. Memang, pada beberapa kasus pemikiran tersebut bisa diikuti, tapi tidak selamanya. Karena, hanya melalui menangislah seorang bayi dapat mengkomunikasikan ketakutannya, kelaparannya, kehausannya, keinginannya akan kehangatan, keinginannya untuk dibelai, rasa tidak enak badan, kedinginan, kepanasan dan rasa tidak enak yang lain. Jangan lupa, bayi adalah makhluk paling tidak berdaya dan tidak berdosa, tidak punya maksud buruk. Jadi, tangisannya adalah murni muncul dari kebutuhannya. Bayangkan, jika orangtua menunda respon terhadap ketakutannya, maka bayi akan merasa frustrasi. Dari situ lah ia juga belajar, bahwa orangtuanya tidak bisa memberikan jaminan akan kasih sayang, bahwa dirinya tidak terlalu berharga untuk diperhatikan kebutuhannya.
Upayakan kebersamaan dalam keluarga inti
Jaman sekarang, banyak keluarga yang menggunakan jasa baby sitter untuk mengasuh anak. Ironisnya, ada beberapa ibu rumah tangga yang tidak bekerja, tidak mempunyai kegiatan apapun kecuali arisan, ke salon dan shopping, mempunyai banyak asisten dan pembantu namun anaknya sepenuhnya diurus oleh baby sitter. Tidaklah mengherankan jika kelak antara dia dengan anaknya tidak terlihat suatu kelekatan yang positif karena anaknya lebih nempel dengan 'suster-nya. Situasi ini tidak mendorong proses perkembangan psikologis dan identitas yang sehat. Anak tetap melihat dirinya diabaikan oleh ibunya sementara sang ibu memperhatikan anak melalui berbagai barang dan mainan yang dibeli atau pun uang jajan yang berlebihan. Kelekatan yang positif, membutuhkan kerja sama setiap angota keluarga. Ciptakan waktu kebersamaan yang konsisten, dipenuhi perasaan tenang, senang dan santai. Jika bepergian bersama, (dan jika memungkinkan), berlatihlah sejak dini untuk tidak menyertakan sang suster agar anak terbiasa berada bersama dan dekat orangtua, agar anak lebih dapat belajar dan berkomunikasi dengan orangtua, agar anak bisa merasakan senangnya jalan-jalan dengan 'mama-papa. Sementara itu, orangtua juga belajar dari anaknya, dan melihat hasil didikannya selama ini melalui sikap dan perilaku anak. Dengan demikian, orangtua bisa memahami perilakunya sendiri, mana yang perlu diubah dan mana yang perlu ditingkatkan. (Jp)

Lanjut membaca “Problem Kelekatan”  »»

Mengelola Liburan Anak


Setiap musim liburan tiba, kita sering melihat respon yang berbeda antara anak dengan orang tua. Anak-anak dengan gembira dan semangatnya menyambut liburan mereka, sedangkan orang tua malah pusing dan bingung karena mereka harus memikirkan aktivitas apa saja yang dapat mengisi liburan, sehingga kegiatan anak tetap terarah dan berkualitas. Kepusingan orang tua sering dialami oleh para orang tua yang bekerja, karena mereka tidak bisa sewaktu-waktu mengambil cuti dari kantor. Tuntutan pekerjaan membuat mereka tidak mudah meninggalkan tanggung jawab setengah jalan untuk urusan "liburan". Idealnya, antara orang tua dan anak, ada perencanaan yang baik dalam menentukan waktu "liburan bersama keluarga" sehingga tidak perlu ada yang mengorbankan kepentingan atau tanggung jawab. Namun, sudah tentu waktu libur anak yang relatif panjang sekali jika dibandingkan dengan libur orang kerja, tidak akan pernah "match" dengan orang tuanya. Bagaimana mengelola kegiatan terutama pada waktu orang tua tidak bisa extending waktu libur mereka bersama anak?


Lanjut membaca “Mengelola Liburan Anak”  »»

19 December 2007

Mendidik Tanpa Kekerasan

Seringkali orangtua menanyakan ke saya “Anak saya ini kalau diomongin susah nurutnya, bagaimana sih caranya agar anak nurut dengan orangtua ? Apa musti dipukul dulu baru nurut ? ”
Mendengar pertanyaan ini, seringkali saya jawab dengan singkat “Kenapa musti harus dengan kekerasan ? “. Dan seringkali saya menceritakan kisah di bawah ini agar mereka mengerti apa maksudnya Mendidik Anak Tanpa Kekerasan.
Pada suatu hari Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi, memberi ceramah di Universitas Puerto Rico. Ia menceritakan suatu kisah dalam hidupnya :
Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.Pada suatu saat, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya mengerjakan beberapa pekerjaan tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.Pagi itu setiba di tempat konferensi, ayah berkata, ”Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.” Segera saja saya menyelesaikan pekerja-pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibu. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu.


Begitu melihat jam menunjuk pukul 17.30, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18.00 !!!Dengan gelisah ayah menanyai saya, ”Kenapa kau terlambat ?” Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton bioskop sehingga saya menjawab, ”Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”
Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, ”Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarkanlah ayah pulang berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.” Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai kejadian ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya, sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan ? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru terasa kemarin. Itulah kekuatan bertindak tanpa kekerasan.
Ketika kita berhasil menancapkan suatu pesan yang sangat kuat di bawah sadar seorang anak maka informasi itu akan langsung mempengaruhi perilakunya. Itulah salah satu bentuk hypnosis yang sangat kuat. Apakah hal sebaliknya bisa terjadi ? Ya bisa saja ! Oleh karena itu kita perlu keyakinan penuh dalam melakukannya sehingga hasil positif yang kita inginkan pasti tercapai. Hal ini memerlukan pemikiran yang mendalam dan kesadaran diri yang kuat dan terlatih. Janganlah bertindak karena reaksi spontan belaka dan kemudian menyesal setelah melakukannya.Jika kita mau berpikir sedikit ke belakang ke masa di mana anak-anak kita masih kecil sekali maka di masa itulah semua ”bibit” perilaku dan sikap ditanamkan. ”Bibit” perilaku dan sikap inilah yang kelak akan mewarnai kehidupan remaja dan dewasanya. Siapakah yang menanamkan ”bibit” perilaku dan sikap itu untuk pertama kalinya ? Ya anda pasti sudah tahu jawabnya, kitalah orangtua yang menanamkan segala macam ”bibit” perilaku dan sikap itu.Bagaimana jika sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan pengasuhnya ( baby sitter ). Ya berdoalah semoga pengasuh anak anda mempunyai pemikiran bijaksana dan bisa mempengaruhi anak anda secara positif. Berharaplah pengasuh anak (baby sitter) anda mengerti cara kerja pikiran dan mengerti bagaimana bersikap, berucap dan bertindak dengan baik agar anak anda memperoleh ”bibit” sikap dan perilaku yang baik.Seseorang bisa menjadi baik atau buruk pasti karena sesuatu ”sebab”. Perilaku, ucapan sikap, dan pikiran yang baik atau buruk hanyalah suatu rentetan ”akibat” dari suatu ”sebab” yang telah ditanamkan terlebih dahulu. Mungkinkah terjadi ”akibat” tanpa ”sebab” ? Mungkinkah anak kita berbohong tanpa sebab, mungkinkah anak kita ”nakal” tanpa sebab, mungkinkah anak kita rewel tanpa sebab ? Sebagai orangtua kita wajib mencari tahu apa penyebabnya. Tidaklah pantas sebagai orangtua kita langsung bereaksi spontan begitu saja tanpa memikirkan apa yang baru saja kita perbuat. Bukankah ini akan memberi contoh baru bagi anak kita tentang bagaimana bertindak dan bersikap ?Sewaktu kita mempunyai anak maka kita menjadi orangtua, tetapi kita tidak pernah punya pengalaman menjadi orangtua. Kita mempunyai pengalaman menjadi anak. Jadi kita harus mendidik diri kita sendiri dengan belajar dari anak-anak. Bukan belajar dari apa yang dilakukan orangtua pada kita. Ingatlah perasaan sewaktu kita masih menjadi anak-anak. Amati mereka dan tanggapilah dengan penuh perhatian apa yang mereka inginkan. Pengharapan, perlakuan dan pengakuan seperti apa yang kita inginkan dari orangtua yang tidak pernah terpenuhi ?Perlakukan anak-anak seperti kita ingin diperlakukan ! Jangan perlakukan anak-anak seperti apa yang dilakukan orangtua pada kita.Wish you become the best parents in the world !


Penulis :
Ariesandi dan Sukarto
Sumber : e-psikologi.com

Lanjut membaca “Mendidik Tanpa Kekerasan”  »»

07 December 2007

Korupsi di Sekolah

Beberapa waktu lalu, di penghujung tahun 2003. Sebuah berita perampokan menghebohkan masyarakat. Apakah karena pelakunya kelewat sadis, dan membunuh korbannya ? Apakah karena disertai tindak perkosaan di depan anak-anak si korban ? Atau karena terjadi tembak-menembak dengan aparat kepolisian ? Atau karena jumlah duit yang berhasil digondol sang perampok mencapai triliunan ? Tidak !, Bukan, bukan, bukan dan bukan ! Berita perampokan itu menjadi sedemikian heboh karena salah seorang pelaku tindak perampokan adalah : seorang guru !, atau lebih tepatnya seorang kepala sekolah ! Ya, lebih tepatnya lagi, seorang Kepala Sekolah Dasar ! Crime by the best is the worst ! begitu kata Landa Inggris yang disitir Nurcholis Majid.
Berita perampokan di atas tak akan menjadi sedemikian heboh bila sipelaku perampokan adalah preman, berita itu akan menjadi berita biasa bila pelaku perampokan adalah Gali (gabungan anak liar ?) berita perampokan itu menjadi heboh dan sangat menarik perhatian masyarakat karena salah seorang pelaku perampokan adalah : guru ! bahkan bukan seorang guru biasa namun juga menjabat sebagai seorang kepala sekolah ! kepala sekolah SD lagi !'Guru yang patut digugu dan ditiru itu menjadi perampok ?' ; 'Kepala sekolah yang semestinya juga menjadi panutan para guru menjadi perampok ?' Begitulah kira-kira masyarakat bertanya. Bahkan ada pertanyaan yang lebih nylekit lagi : 'Mungkin SD sang kepala sekolah rampok itu tidak dapat proyek DAK, sehingga dia musti merampok di luar!'
Memang, hal itu tidak boleh digeneralisir ! Masih teramat banyak guru yang baik, masih teramat banyak kepala sekolah yang laik menjadi panutan masyarakat ! Kepala sekolah yang rampok itu hanyalah sebuah anomali ! Ya, benar, benar, benar dan betul ! Guru, by design, memang semestinya digugu dan ditiru; Guru adalah uswah hasanah masyarakat; Guru adalah panutan masyarakat : patuh dan taat hukum, berperilaku sopan dan santun, bertutur kata baik, tidak boleh korupsi, ramah-tamah, dan seabreg kebaikan lainnya. Itulah cap (stigma) yang suka atau tidak suka digantungkan masyarakat dan melekat pada kaum guru. Itulah sebabnya ketika sang panutan (baca: guru/kepala sekolah, the best) itu berbuat jahat (crime, melanggar hukum : merampok, selingkuh, korupsi, ngutil, manipulasi proyek, menyuap, membeli jabatan, nilep atau memotong dana BKM dsb.) merupakan suatu perbuatan yang teramat buruk (the worst) karena akan berdampak sangat luas di masyarakat, berupa melorotnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru. Kondisi distrust (hilangnya kepercayaan) semacam ini akan sangat berbahaya. Masyarakat akan kelangan kiblat (kehilangan panutan).
Awal maret lalu Transparency International, menobatkan (kembali) negara kita sebagai : Juara Korupsi di Asia ! Sebuah kenyataan sangat pahit yang harus kita telan. Di dalam negeri ICW (Indonesian Corruption Watch) bahkan menengarai korupsi yang merambah di dunia pendidikan (baca : sekolah) sudah akut. Sekolah yang semestinya menjadi benteng nurani bangsa tempat persemaian tunas-tunas bangsa, juga tak luput dari penyakit kronis bernama korupsi.Sukur Budiarjo mengidentifikasi 5 (lima) jenis korupsi yang menggejala di sekolah yang potensial dilakukan oleh kaum Oemar Bakri (juga Kepala Sekolah ) (Kompas, 15 Desember 2003), yaitu :
 Guru sebagai koruptor waktu; bentuknya terlambat masuk kelas,dan membolos;
 Guru sebagai manipulator nilai; Umumnya terjadi karena tekanan birokrasi pendidikan melalui tangan kepala sekolah, guru terpaksa memanipulasi nilai agar naik kelas dan lulus ujian. Ketika ini berlangsung bertahun maka jadilah kebiasaan memberi bonus nilai kepada siswa untuk meraih prestasi semu;
 Guru sebagai pedagang dan calo barang dan jasa; Guru mengambil fungsi toko dan pedagang kaki lima : jual seragam, pakaian olahraga, buku pelajaran, topi, sepatu, ikat pinggang,sampai buku tulis ! Selain berdagang, guru juga sebagai calo : dalam penyelenggaraan studi tur, perpisahan, tes intelegensia (IQ), dan pemberian ijin kepada pedagang untuk mempromosikan dan menjual barang dagangan kepada siswa;
 Guru sebagai pembeli jabatan; Misalnya jabatan kepala sekolah. Meskipun harganya puluhan juta. Promosi kepala sekolah dengan politik uang ini memicu timbulnya perilaku kepala sekolah yang korup.
 Guru sebagai koruptor dana; Kepala sekolah bekerjasama dengan elit sekolah mengorupsi dana yang tidak sedikit jumlahnya : apakah itu dana BOP, DBO, block grant adalah contoh dana yang paling empuk untuk dikorup. Korupsi jenis ini merupakan korupsi yang sistemik karena melibatkan pejabat pendidikan pada level atas kepala sekolah. Agar tidak mudah diketahui pihak lain, elit sekolah menutup akses ke asal sumber dana. Jangankan orang tua siswa atau masyarakat, guru saja tidak mampu menembusnya. Dengan dusta, tipu daya, tanpa rasa malu, dan tidak takut dosa, dana-dana itu dikorupsi dengan berbagai strategi : program fiktif, kuitansi fiktif, sumber pembiayaan yang dibuat tumpang tindih dsb.
Jo-Tek-Si edisi perdana yang lalu misalnya mengangkat masalah yang idem ditto, yaitu tentang bau tak sedap dari penyelenggaraan ulangan umum bersama atau dengan nama lain yang diselenggarakan oleh kumpulan kepala sekolah yang bernama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah/MKKS (dulu bernama K3S). Organisasi 'arisan' para kepala sekolah ini bahkan nekad menyelenggarakan ulangan umum bersama, kendati jelas menyalahi Skep Mendiknas No. /U/2003. Kegiatan ulangan umum bersama oleh MKKS ini sangat kentara cenderung bermotif non akademik, dan UUD (ujung-ujungnya duit!). Sebab dengan kegiatan ulangan umum bersama inilah 'pasokan logistik' (berasal dari bathen penyelenggaraan ulangan umum bersama) MKKS terpenuhi. Maka dapat dipahami ketika Darmaningtyas menyatakan : Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) perlu dibubarkan karena dinilai sebagai bentuk mafia baru antar kepala sekolah guna mempertahankan hegemoninya. Posisi kepala sekolah menjadi superkuat, selain tidak dipilih dari bawah, dan punya intel guru-guru yang suka menjilat, juga ditopang mafia baru itu. (Kompas, 19 Februari 2002, hal. 5).

Pendapat lain yang agak berbeda dari Syukur Budiarjo dikemukakan St Kartono : Kekuasaan kepala sekolah yang terlalu besar dan tidak terkontrol merupakan sumber utama terjadinya korupsi di sekolah-sekolah. Korupsi di sekolah tidak dilakukan oleh guru (sebagaimana sinyalemen Syukur Budiarjo red) tetapi oleh kepala sekolah. Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota, yang seharusnya mengawasi kepala sekolah, justru mengajari kepala sekolah untuk melakukan korupsi (Kompas, 26 Januari 2004).

Liding dongeng di atas adalah sinyalemen ICW bahwa ada korupsi di sekolah ternyata benar dan masih berlangsung dengan sukses hingga kini ! Sangat memprihatinkan, sekolah (baca : guru) yang semestinya menjadi benteng moralitas masyarakat, pun telah terjangkiti penyakit korupsi. Dan lebih disayangkan lagi kita terkadang hipokrit (munafik) dengan tetap mengatakan : Tidak ada korupsi di sekolah !

Lanjut membaca “Korupsi di Sekolah”  »»

06 December 2007

Sekolah Ramah Anak


Oleh : Drs. Adman


Alkisah, seorang suhu sakti jaman Majapahit yang telah meninggal ratusan tahun lalu, karena suatu hal hidup kembali di abad 21 ini dan bertemudan berjalan-jalan dengan seorang guru di Indonesia ke berbagai tempat. Sang Suhu terheran-heran dan takjub karena banyak benda-benda dan hal-hal baru yang tidak ada di jamannya dulu. Sang Suhu bertanya pada seorang guru “Wahai Pak Guru, apa gerangan burung yang sangat besar yang terbang tinggi itu?”. “Ya Suhu, itu namanya pesawat terbang” Jawab Pak Guru. “Oo ... Lha kalau itu gerobak kok tidak ditarik kuda dan melaju sangat cepat namanya apa?” Tanya Sang Suhu lagi. “Kalau itu namanya mobil”.
Begitu seterusnya, semua hal baru ditanyakan oleh suhu. Dan sampailah mereka berdua di sebuah tempat. Maka dari pada ditanya terus, Pak Guru menjelaskan “Nah, kalau yang ini namanya ...”. Belum selesai Pak Guru menjelaskan, Sang Suhu segera menyahut “Oo... Kalau yang satu ini saya sudah tahu, ini namanya sekolah to?.

Guyonan sarkastis!, bahwa ketika jaman berganti dan jaman berubah - ada satu yang tak juga berubah : Sekolah!Paradigma pendidikan (baca : Sekolah) semestinya berubah membaik seiring dengan jaman dan tuntutan masyarakat. Sekolah, sesuai asal katanya escole yang juga berarti tempat bermain, semestinya menjadi tempat yang menyenangkan. Istilah yang kini lazim digunakan adalah ‘Sekolah Ramah Anak’. Seperti apakah sekolah yang ramah anak?

Apakah ciri-ciri Sekolah Ramah Anak itu?Suatu sekolah dikatakan ramah anak apabila sekolah yang dimaksud mempunyai ciri-ciri antara lain:

1. Sikap terhadap murid

A. Perlakukan adil bagi murid laki-perempuan, cerdas-lemah, kaya-miskin, normal-cacat, anak pejabat-anak buruh
B. Penerapan norma agama, sosial dan budaya setempat
C. Kasih sayang kepada murid, memberikan perhatian bagi mereka yang lemah dalam proses belajar. Memberikan hukuman phisik maupun non phisik bisa menjadikan anak trauma
D. Saling menghormati hak-hak anak baik antar murid, antar tenaga kependidikan serta antara tenaga kependidikan dan murid Contoh-contoh: - Guru dan/atau Kepala Sekolah menunggu kedatangan murid didepan sekolah pada pagi hari dengan raut muka ceria dan berjabat tangan serta memberikan ucapan “salam”, “selamat pagi” kepada setiap murid.- Guru dan/atau Kepala Sekolah menanyakan sesuatu yang sederhana kepada murid: “tadi malam belajar sama siapa, nak?”, “sakitnya sudah sembuh?”

2. Methode pembelajaran

A. Terjadi proses belajar sedemikian rupa sehingga siswa merasakan senang mengikuti pelajaran, tidak ada rasa takut - cemas dan was-was, siswa menjadi lebih aktif dan kreatif serta tidak merasa rendah diri karena bersaing dengan teman siswa lain
B. Terjadi proses belajar yang efektif dihasilkan oleh penerapan methode pembelajaran yang variatif dan inovatif. Misalnya: belajar tidak harus didalam kelas. Guru sebagai fasilitator proses belajar menggunakan alat bantu untuk meningkatkan ketertarikan dan kesenangan dalam pengembangan kompetensi, termasuk lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber belajar (pasar, kebun, sawah, sungai, laut, dll)
C. Proses belajar mengajar didukung oleh media ajar seperti buku pelajaran dan alat bantu ajar/ peraga sehingga membantu daya serap muridD. Guru sebagai fasilitator menerapkan proses belajar mengajar yang kooperatif, interaktif baik belajar secara individu maupun kelompok
E. Terjadi proses belajar yang partisipatif. Murid lebih aktif dalam proses belajar. Guru sebagai fasilitator proses belajar mendorong dan memfasilitasi murid dalam menemukan cara/ jawaban sendiri dalam suatu persoalan
F. Murid dilibatkan dalam berbagai aktivitas yg mengembangkan kompetensi dengan menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu (learning by doing, demo, praktek, dll)

3. Penataan kelas

A. Murid dilibatkan dalam panataan bangku, dekorasi dan ilustrasi yang menggambarkan ilmu pengetahuan, dll. Penataan bangku secara klasikal (berbaris ke belakang) mungkin akan membatasi kreatifitas murid dalam interaksi sosial dan kerja diskusi kelompok.
B. Murid dilibatkan dalam menentukan warna dinding atau dekorasi dinding kelas sehingga murid menjadi betah didalam kelas
C. Murid dilibatkan dalam memajang hasil karya murid, hasil ulangan/ test, bahan ajar dan buku sehingga artistik dan menarik serta menyediakan space utk baca (pojok baca)
D. Bangku dan kursi sebaiknya ukurannya disesuaikan dengan ukuran postur anak Indonesia serta mudah untuk digeser guna mencipatakan kelas yang dinamis

4. Lingkungan sehat

A. Murid dilibatkan dalam mengungkapkan gagasannya dlm menciptakan lingkungan sekolah (penentuan warna dinding kelas, hiasan, kotak saran, majalah dinding, taman-kebun sekolah, dll)
B. Tersedia fasilitas air bersih, hygiene dan sanitasi, fasilitas kebersihan dan fasilitas kesehatan
C. Fasilitas sanitasi seperti toilet, orinoir, tempat cuci, dls disesuaikan dengan postur dan usia anak. Misalnya: bak mandi yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa dijangkau oleh tangan anak kelas-1.
D. Disekolah diterapkan kebijakan/ peraturan yang mendukung kebersihan dan kesehatan. Kebijakan/ peraturan ini disepakati dikontrol dan dilaksanakan oleh semua murid (dari-oleh-untuk murid). Contoh-contoh: - ada murid bertugas piket mengontrol murid lain tentang kebersihan kuku didepan pintu kelas dan langsung diadakan pemotongan kuku bagi yang kedapatan panjang dan kotor- ada murid bertugas piket mengairi taman didepan kelas- kedapatan membuang sampah didalam kelas atau lingkungan sekolah mendapatkan hukuman bernyanyi didepan kelas sambil membawa sampah yang dibuang tsb.

Apa ciri-ciri proses pembelajaran di sekolah yang partisipatif ?

1. Metode Diskusi
Metode diskusi ini adalah salah satu metode yang sangat disukai oleh murid, karena melalui metode ini murid mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan pendapat tanpa rasa takut salah, karena dalam diskusi tersebut disepakati tidak ada pendapat yang salah. Jenis diskusi adalah diskusi kelompok dan diskusi panel. Diskusi kelompok adalah diskusi diantara sekelompok yang ditentukan lebih kurang 7-9 murid. Guru memberikan kesempatan/ tugas kepada kelompok murid untuk mengadakan perbincangan ilmiah guna menyimpulkan pendapat, membuat kesimpulan, atau menyusun berbagai alternatif pemecahan suatu masalah. Hasil kesepakatan dari diskusi kelompok ini akan dipresentasikan dalam diskusi yang disebut sebagai diskusi pleno yang mana pesertanya adalah seluruh murid dalam satu kelas. Argumentasi pendapat akan terjadi antar kelompok selama diskusi pleno tersebut. Dalam hal ini guru memfasilitasi diskusi pleno agar:- tidak terjadi dominasi pembicaraan- pembicaraan tidak keluar dari topik utama- menghindari perselisihan pribadi atau kelompok- menyimpulkan hasil diskusi dengan win-win solution (semua pihak merasa menang-senang-puas)
2. Metode Brainstorming (menggali ide/pendapat/jawaban)
Peran guru (sebagai fasilitator) menggali ide/pendapat/jawaban sebanyak-banyaknya dari muird. Dalam proses ini guru harus berlaku adil dan memberikan kesempatan bagi murid yang pasif supaya tidak terjadi dominasi peran dari murid yang merasa dirinya lebih superior. Guru secara bijak perlu meluruskan dan mengurai manakala ada murid yang menyampaikan pendapat namun kurang/belum/tidak sesuai dengan pokok bahasan, sehingga tidak menjadikan murid tersebut jadi jera. Pada akhir dari proses brainstorming, guru menyimpulkan berbagai alternative jawaban dari pokok bahasan.
3. Metode Simulasi/Bermain Peran
Murid bisanya akan riang saat belajar di kelas dengan metode simulasi ini. Guru sebagai fasilitator mencipatakan ide permainan yang sedang nge-trend dilakukan oleh anak, tetapi permainan tersebut mengandung pelajaran. Contoh-contoh:
- Pelajaran matematika kelas-3 dengan bermain ular tangga: Pada setiap langkah bidak sesuai undian angka pada dadu, murid sebagai pemain harus “mengalikan” angka tersebut dengan angka yang ada pada kedudukan bidak semula. Pada kotak tertentu, pemain bertugas membuka kartu pesan yang isinya “soal” yang harus dijawb. Dls.
Guru membuat variasi soal-soal pada kartu pesan yang bisa diambil dari buku pelajaran. Jadi anak belajar sambil bermain.
- Pelajaran sains kelas-3 dengan bermain peran (sebagai surveyor/ seorang dokter, ahli geologi): Murid dibagi dalam kelompok tergantung pada kesukaan mereka yaitu: kelompok ayam, kelompok batu, kelompok manusia, dan kelompok air. Semua kelompok diminta untuk mengamati benda sesuai nama kelompok masing-masing. Kelompok ayam selama 10 menit mengamati dan mencatat apa saja yang diketahui tentang ayam (dibelakang sekolah). Kelompok manusia selama 10 menit mengamati apa saja tentang manusia disekitar sekolah, demikian juga dengan kelompok lain. Setelah 10 menit semua kelompok berkumpul dibawah pohon dan harus melaporkan hasil pengamatan mereka. Ada yang melaporkan: ayam perlu makan, manusia perlu minum, batu tidak berubah, dll. Kelompok lain akan melengkapi laporan dari kelompok berbeda sesuai yang mereka pahami. Pada akhir dari pelajaran, guru menyampaikan bahwa saat itu murid sedang belajar yang namanya makhluk hidup dan benda mati. Guru mengulang dan memerinci ciri-ciri makhluk hidup dan benda mati.
4. Metode Demonstrasi
Metode ini dapat mengurangi waktu yang biasa dipakai oleh guru untuk “menerangkan” menjadi memperlihatkan sesuatu kepada murid. Keuntungan dari metode ini dismaping informasi menjadi bermakna dan mudah serta cepat dimengerti, juga mengurangi kesalahpahaman murid terhadap konsep atau prosedur yang diajarkan. Contoh: Guru membuat alat peraga sederhana dari tanah atau pasir yang dibuat mirip 2 buah gunung. Gunung yang satu ditumbuhi rumput (ambil tanah rumput betulan) sedang gunung yang satu tanpa ditumbuhi apapun. Dua gunung tersebut mendapatkan percikan atau siraman air (sebagai air hujan). Murid akan melihat proses yang namanya “erosi”.

Dan masih banyak lagi metode lain yang bisa dikembangkan.(**)

Lanjut membaca “Sekolah Ramah Anak”  »»

05 December 2007

Ketidakadilan Anggaran

Oleh : Agus Purwanto


Suatu siang di tahun 1974.
Seorang guru SD terlihat dikelilingi anak-anak didiknya berada di tegalan, terlihat Sang Guru sedang menunjukkan tanaman kacang tanah pada anak didiknya.
Kata Pak Guru : “Coba perhatikan anak-anak, pada akar tanaman kacang tanah ini terdapat banyak sekali bintil-bintil kecil !”
“Seperti kutil ya Pak Guru?” Tanya seorang anak.
“Iya benar. Didalam bintil-bintil inilah terdapat zat lemas yang dapat menyuburkan tanah” Jelas Pak Guru.
“Zat lemas itu apa Pak Guru? Apa kalau kita makan kacang kita jadi lemas?” Tanya seorang anak yang lain.
“Ha … ha … ha …” serentak murid yang lain tertawa, sementara Sang Guru mesem saja mendapat pertanyaan aneh seorang muridnya.
(Sepuluh tahun kemudian, setelah kuliah di jurusan Kimia, Si Murid Penanya ini baru tahu apa itu zat lemas!).

Itu salah satu dari sekian banyak kenangan saya di SD, nyaris empat dasa warsa yang lalu. Pun saya masih ingat guru-guru saya di SD : Pak Sutarto yang kepala sekolah, Pak Maeni, Pak Saroji, Bu Sri Mawanti, Pak Rasikun yang ndapuk saya jadi ‘Semar’. Saya pastikan Anda punya kenangan serupa seperti itu ketika di SD dulu.

Para winasis bidang pendidikan sering mengutarakan: bahwa pendidikan di SD sangatlah penting dan besar pengaruhnya terhadap tumbuh kembang seorang manusia. Pendidikan (dan pengajaran) di SD ibarat menulis di batu, bagaikan mengukir prasasti, nyaris tak lekang oleh waktu. Coba kita bandingkan dengan penataran atau pelatihan yang kita terima pada usia lebih tua. Terkadang materi penataran yang kita terima minggu lalu-pun sekarang sudah lupa!. Bagaikan menulis di air, yang sesaat setelah ditulis tak berbekas !

Karena besarnya pengaruh pendidikan pada usia dini (baca SD), maka benarlah kegelisahan seorang YB Mangunwijaya (alm) yang menyatakan : “… lebih baik ada beberapa dosen yang bodoh daripada seorang guru SD yang bodoh”; karena ketika seorang guru SD mengajarkan sebuah ‘konsep’, maka ‘konsep’ itu melekat erat di benak dan akan terbawa si murid sampai tua. Untuk itu maka guru SD harus diupayakan lebih pintar dari hari ke hari, juga lebih sejahtera (lahir batin) dari hari ke hari. Guru SD juga harus berjiwa merdeka. Sebab guru yang sejahtera dan bahagia lahir batin serta berjiwa merdeka akan membawa suasana proses belajar mengajar yang bahagia dan merdeka pula, yang pada gilirannya akan membawa pada suasana jiwa murid-muridnya pada kondisi serupa. Sebaliknya, bila guru SD menderita, tertindas, bermental kuli, dan murung (apalagi kalau karena gajinya minus), maka dikhawatirkan akan melahirkan generasi inlander yang akan menambah beban bangsa yang memang sudah berat ini.

Secara yuridis formal posisi pendidikan (apalagi pendidikan dasar) sangatlah strategis dalam pembangunan bangsa. Cobalah simak :
Pasal 31 UUD 1945 (hasil amandemen) Ayat (1) menyatakan , “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
UU No 20 Tahun 2003 (UU Sistem Pendidikan Nasional) :
Pasal 6 Ayat (1) menyatakan, “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai limabelas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”;
Pasal 11 Ayat (1) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pada pasal yang sama Ayat (2) tertulis, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
UU No. 23 Tahun 2002 (UU Perlindungan Anak) Pasal 53 Ayat (1) menyatakan, “Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil”.

Betapa indah setiap kata pada Undang-Undang itu, seolah menjanjikan harapan nan cerah bagi dunia pendidikan. Namun lain Undang-Undang, lain pula kenyataan yang terjadi.
Coba kita cermati nukilan beberapa fakta yang terjadi di dunia SD kita :

1. Pemerintah Kabupaten Kebumen mengalokasikan Dana Bantuan Operasional (DBO) untuk setiap SD sebesar satu juta pertahun (diberikan setengah tahun sekali), dan ‘SBPP’ yang diberikan setiap triwulan sekitar Rp. 300 ribu s.d. Rp 400 ribu (bergantung jumlah murid). Dana ‘SBPP’ ini terkadang tidak dalam bentuk uang tunai, namun sebagian berupa barang – buku nilai, LKS, buku absen, buku kwitansi = dan barang lainnya yang kadang sekolah tak membutuhkannya.
Sekolah Dasar memiliki ‘kewajiban’ menyetor lebih kurang Rp. 1.000,- (seribu rupiah)/murid/bulan ke K3S SD atau ke Kantor Cabang Dinas, untuk Dana Aktivitas Murid (DAM, ada juga yang memberi nama APBK, Anggaran Pendapatan dan Belanja Kantor – tentu saja kantor Cabang Dinas P dan K). Dana setoran ini tiap kecamatan berbeda-beda besarnya. Berdasar fakta di lapangan, dana yang semestinya digunakan untuk aktivitas murid SD ini, sebagian digunakan untuk membayari rekening listrik, rekening telpon atau keperluan lain Kantor Cabang Dinas Kecamatan.
Dengan alasan untuk ‘keperluan’ kantor Cabang Dinas P dan K Kecamatan, di salah satu kecamatan, gaji para guru SD (PNS) dipotong dua per seribu (dua per-mil) dari total gaji – lagi-lagi alasan pemotongan adalah ‘kesepakatan’. Pertanyaannya adalah : Apakah APBD (baca Pemkab) tidak mengalokasikan dana untuk keperluan operasional Kantor Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan (kini UPTD, Unit Pelaksana Teknis Dinas), sehingga harus dibiayai dengan memotong gaji guru dan iuran dari murid-murid?

2. Guru SMP, SMA, SMK bila mengajar lebih dari 18 jam per minggu akan memperoleh dana KJM (Kelebihan Jam Mengajar) sebesar Rp. 4.000/jam/bulan. Misalkan seorang guru SMP memiliki jam mengajar 28 jam/minggu, maka ia berhak memperoleh (28 jam – 18 jam) x Rp.4.000,- = Rp. 40.000,-/bulan. Bagaimana dengan guru SD? Alhamdulillah, walaupun seorang guru SD mengajar enam hari seminggu, mulai Senin hingga Sabtu - bahkan kadang harus merangkap kelas - tidak ada itung-itungan KJM seperti rekan-rekan guru yang lain di SMP, SMA, SMK.
Seolah sudah menjadi kebiasaan, saat Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan akan melakukan kegiatan, misalnya merehab kantor, pavingisasi halaman kantor (atau bahkan perpisahan pejabat Kantor Cabang Dinas) dll, maka pejabat Cabang Dinas akan melakukan ‘langkah cerdas’ dengan mengumpulkan para kepala SD, ‘bermusyawarah mufakat’ dan diputuskan : pendanaannya (sebagian maupun seluruhnya) dibebankan pada guru dengan melakukan pemotongan gaji.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, di penghujung tahun 2004 ini terdapat 4211 anak putus Wajar Dikdas (tamat tahun ajaran 2002/2003) yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/Kejar Paket B (sebagian besar dengan alasan ekonomi). Sementara Pemkab baru mampu menangani 414 anak. Masih tersisa 3797 anak yang sangat mendesak untuk memperoleh perhatian dan pembiayaan!
(Penulis sungguh khawatir bila hal-hal serupa juga terjadi di kabupaten/kota lain)

Ketidakadilan Anggaran

Kasus-kasus di atas adalah sebagian kecil indikator bahwa pemerintah masih abai terhadap pendidikan, sekaligus menunjukkan adanya ketidakadilan anggaran. Adil yang dimaksud adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, hal-hal yang urgent (penting dan mendesak) dan kebutuhan primer metilah didahulukan. Sangatlah jelas bahwa Undang-Undang menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus didahulukan. Pemerintah semestinya mencontoh manajemen keluarga kelas menengah-bawah di Indonesia. Keluarga jenis ini akan mengalokasikan anggaran lebih dari 30 % dari Anggaran Keluarga untuk keperluan pendidikan anak-anaknya (apalagi bila ada anak yang tengah kuliah, maka bisa lebih dari 50% yang dialokasikan untuk pendidikan). Orang tua kita rela ‘menyekolahkan’ sertifikat tanah dan atau SK-nya di Bank untuk keperluan pendidikan anak-anaknya. Pemerintah kita semestinya berbuat serupa; mendanai pendidikan dengan ‘cukup’ dan meniadakan hal-hal lain yang tidak urgent, termasuk di dalamnya melakukan efisiensi.

Tugas utama pemerintah (yang benar dan baik) adalah melaksanakan amanah rakyat yang dituangkan melalui Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan berbagai peraturan lain yang ada. Sangatlah jelas dan gampang dipahami, secara imperatif berbagai Undang-Undang tersebut di atas, mewajibkan agar Pemerintah memprioritaskan pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar! Bahkan secara kuantitatif menyebutkan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% (amanah UUD 1945 dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), maka adalah sebuah ironi, bahkan tragedy, ketika ternyata pemerintah justru tidak taat, bahkan mengkhianati, Undang-Undang, bahkan Undang-Undang Dasarnya sendiri !
Kesenjangan di dunia pendidikan dasar kita - khususnya SD - antara yang ‘semestinya’ menurut substansi maupun peraturan perundangan dan kasunyatan di lapangan, adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Kondisi pendidikan dasar yang seperti ini adalah akar terpuruknya mutu pendidikan di tanah air. Ini dapat terbukti dengan berbagai indikator yang ada, salah satunya adalah bahwa HDI (Human Development Index/Index Pembangunan Manusia, IPM) kita berada di bawah Vietnam! (sebuah negara yang baru ‘merdeka’ tiga puluh tahun setelah Indonesia). Di lain pihak kondisi semacam ini mengancam suksesnya penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas), yang untuk propinsi Jawa Tengah direncanakan tuntas tahun 2006.

Apa Yang Bisa Diperbuat?

Pertama, Sesuai amanah Undang-Undang, maka kita harus mendesak Pemerintah (pusat, propinsi, maupun kabupaten) untuk merealisasikan anggaran pendidikan (non gaji) sebesar minimal 20% dari APBD secara berkeadilan;
Kedua, Dana Operasional/ ‘SBPP’ SD harus ditingkatkan sampai pada tingkat ‘mencukupi’, dan diberikan dalam bentuk cash (tidak dalam bentuk barang), sehingga SD dapat mencukupi kebutuhan operasional dasar sebuah lembaga pendidikan.
Ketiga, Pemerintah (kabupaten/kota) harus mengalokasikan dana yang memadai untuk keperluan operasional Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan, sehingga Dinas dapat berkonsentrasi pada pekerjaan utamanya dan tidak lagi dibebani dengan tugas sampiran untuk berimprovisasi ‘nyukupi kebutuhan kantor’.
Keempat, Sebagaimana rekan-rekannya di SMP/SMA/SMK, hak para guru SD berupa KJM (Kelebihan Jam Mengajar) harus diberikan;
Kelima, Khusus untuk para guru dan kepala sekolah SD yang bertugas di daerah-daerah terpencil diberikan ‘tunjangan keterpencilan’ dan atau sarana mobilitas (baca : motor dinas). Hal ini untuk mengurangi kecenderungan para guru dan kepala sekolah yang bertugas di daerah terpencil untuk mengajukan pindah ke ‘kota’.

Wallahu a’lam bisshawab.

Catt :
1 Data diperoleh dari keterangan beberapa guru dan kepala sekolah SD. Dengan catatan kondisi di masing-masing kecamatan bervariasi nama maupun besarannya, namun secara substantif serupa.
2 Menurut info seorang kepala UPT : UPT Dinas P dan K (Cabang Dinas) mendapat 1,5 juta rupiah tiap tiga bulan untuk keperluan operasional kantor. (telpon, listrik, air dsb) – dan dirasa tidak mencukupi.

Lanjut membaca “Ketidakadilan Anggaran”  »»
 
©  free template by Blogspot tutorial