17 November 2012

Antara Program 'Study Tour' dan 'Live In'

Oleh : Agus Purwanto.
Pada semester ini laboratorium sekolah tempat saya mengajar, tengah direnovasi. sehingga nyaris sepanjang semester ini tidak dapat praktikum. Hanya klas X yang saya coba beri kegiatan praktikum dengan alat dan bahan sederhana yang dapat dicari di sekitar. Terhentinya praktikum membuat pembelajaran kimia nyaris cuma 'cerita' dan latihan soal-soal. Karena tidak melaksanakan kegiatan praktikum, maka masih 'tersisa' waktu setelah teori rampung, khususnya di kelas XI IPA yang saya ampu.
Dalam rangka mengisi sisa waktu, sekaligus mengganti kegiatan praktikum saya mencoba mendorong dan menugasi anak-anak XI IPA untuk melakukan 'penelitian sederhana' berkait materi kimia. Selain itu proses perencanaan, pelaksanaan, hingga laporan dan presentasi hasil peneilitian akan saya gunakan untuk mengisi nilai psikomotor dalam raport.
Namun saya mendapati kenyataan bahwa anak-anak belum pernah diberikan materi bagaimana melakukan 'penelitian sederhana', dan bagaimana menulis laporan, sehingga sebisa mungkin saya memberikan sepintas apa dan bagaimana itu membuat 'penelitian sederhana'.
Menurut saya melatih anak-anak menggunakan metoda ilmiah adalah sesuatu yang sangat penting, bahkan mendasar bagi seorang pembelajar. Latihan ini akan membuat anak-anak terasah logika dan inovasinya, disamping itu juga membuat anak-anak menjadi memiliki sikap obyektif, teliti, tangguh, dan jujur.
Bukan salah anak-anak bila mereka tidak tahu bagaimana membuat 'penelitian sederhana', karena sekolah (lebih tepatnya guru-guru dan kepala sekolah) memang tidak pernah memprogramkannya. Dalam catatan, sekolah tempat saya mengajar hanya sekali mengadakan program 'penelitian lapangan' lebih dari tujuh tahun lalu, dengan dikoordinasikan oleh seorang guru Fisika. Waktu itu anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dengan dibimbing guru dikirim ke desa-desa selama tiga hari untuk melakukan 'penelitian' sesuai objek yang mereka pilih (semacam program live in sekarang). Setelah itu masing-masing kelompok membuat laporan penelitiannya. Namun program ini hanya berjalan sekali, tahun berikutnya anak-anak dan guru-guru lebih memilih study tour ke Bali. Bahkan tahun-tahun terakhir hanya tour saja tanpa study dan tidak ada kewajiban membuat laporan.
Lebih duapuluh tahun lalu, ketika saya mengabdi sebagai guru tidak tetap di sebuah SMA swasta di Gombong, saya pernah 'melakukan sesuatu' berkait fenomena study tour dan program live in ini (Silahkan anda bisa baca berikut ini).
.... 

STUDY TOUR

Kisah duka dari dunia pendidikan kembali berulang. NES (14) siswa kelas II (Kelas VII - Red) di SMP Muhammadiyah Playen, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Selasa (22/5) sekitar pukul 14.00, nekat mencoba bunuh diri. Tindakan tersebut dipicu perasaan malu lantaran yang bersangkutan belum melunasi biaya karyawisata yang diadakan pihak sekolah ke Cilacap, Jawa Tengah.
Kini NES masih menjalani perawatab di RSUD Wonosari, Gunung Kidul. Menurut ibu kandungnya, Pujiantini (40), meski kesehatannya sudah berangsur membaik, kondisi fisik NES masih tampak lemah.

Pujiantini menduga tindakan nekat yang ditempuh NES berkaitan erat dengan rencana karyawisata yang dilaksanakan pihak sekolah anaknya pada 27 Mei mendatang. Menurut Pujiantini hingga selasa lalu anaknya belum bisa membayar biaya karyawisata senilai Rp 155.000. Padahal, pihak sekolah memberi batasan waktu hingga Jum’at pekan lalu.
“Kepala sekolah sebenarnya tidak terlalu memaksa, tetapi panitia mengejar-ngejar supaya lekas membayar” ujarnya.
NES sendiri, Sabtu pekan lalu, sempat dipanggil pihak sekolah. Kepada pihak sekolah, NES berjanji akan melunasi pembayaran pada hari Senin. Namun, karena belum mendapat uang, pada Senin dan Selasa ia tidak masuk sekolah.
Sukarno, Kepala SMP Muhammadiyah Playen, mengatakan, karyawisata tersebut bukan kegiatan wajib. Ada beberapa siswa yang juga merasa keberatan karena alasan ekonomi. Lagi pula, katanya, pembayaran kegiatan yang direncanakan sejak awal tahun tersebut sebenarnya dapat diangsur.
“Mereka tidak diwajibkan membayar dengan catatan benar-benar tidak mampu. Ada beberapa orangtua siswa yang datang ke sekolah untuk meminta keringanan. Hal itu ternyata tidak dilakukan pihak keluarga korban” ujar Sukarno.
(KOMPAS, Kamis, 24/05/2007)

Membaca berita di atas, saya teringat kejadian beberapa puluh tahun lalu. Tepatnya tahun 1988, saat saya baru lulus sekolah guru, dan mulai mengabdi menjadi guru tidak tetap (GTT) di sebuah SMA swasta di kota Gombong. Kala itu saya masih tinggal bersama orang tua di Puring.
Suatu sore sekitar jam 15-an, saya nongkrong di Warung Bi Dirah, warung di prapatan depan rumah, tempat saya biasa ngopi dan ngobrol dengan beberapa teman.
Tengah asyik ngobrol, datang seorang laki-laki paruh baya mengendarai pit onthel lanang, dengan keranjang di kiri-kanan tersangkut di boncengan sepeda.
Sambil masuk warung, lelaki itu memesan : “Sega jangan Yu, karo kopi”.

Walau tidak kenal, sayapun berusaha ramah dan menyapa lelaki itu : “Saking pundi Kang?”.
“Lah niki, saking Gombong, mbeta gori, ning kalih mampir-mampir dados tekan sonten” jawab lelaki itu.
“Mampir saking pundi si?”
“Golet butuh Mas, ajeng kalih adol pit ujare kula, ning mboten onten sing ngenyang” jawabnya sambil nyeruput kopi yang sudah tersaji.
“Lhah, deneng si pite diedol, lha ngenjang sampeyan olihe mbeta gori teng Gombong si kepripun? Ajeng kangge napa si duite?” saya mencoba mengorek keterangan.
“Ajeng ngge mbayar studi tour anake kula teng Jakarta” jawabnya lagi.
“Putrane sekolah teng pundi si?” Tanya saya lagi.
“Teng SMA Purnama Gombong”.

Jawaban terakhir lelaki setengah baya ini membuat saya tercekat. Betapa tidak, SMA Purnama adalah sekolah dimana saya mengajar!

Malam harinya saya menjadi sulit tidur, bukan karena minum kopinya Bi Dirah, tapi memikirkan lelaki yang hendak menjual pit onthel, alat produksi dan alat transportasinya itu, untuk membayar biaya study tour anaknya. Pertanyaan dan bayangan memenuhi otak. Bagaimana lelaki itu besok mengangkut gori ke Pasar Gombong tanpa pit onthel (kala itu belum ada angkot seperti sekarang), Apakah hasil penjualan pit onthel butut itu mencukupi untuk membayar biaya study tour?

Tahun 1989, dengan dukungan beberapa guru, saya merintis dan mendirikan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), beranggotakan sekitar 30-an murid, yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, 5 hingga 10 siswa. Kegiatan outdoor pertama adalah melakukan ‘penelitian lapangan’ di Desa Srati Kecamatan Ayah, meneliti penggunaan obat gula sebagai zat additif (zat tambahan pada makanan) pada proses pengolahan gula jawa, dan di  Pantai Karangduwur meneliti biota laut.
Penelitian lapangan mengambil waktu tiga hari, dengan pembagian hari pertama dan kedua melakukan penelitian dan hari ketiga melakukan bhakti masyarakat.
Selang sebulan kami melaporkan program KIR sekaligus hasil penelitian kepada kepala sekolah dan memaparkannya di forum guru.
Kami menawarkan pada forum agar program penelitian lapangan ini dijadikan pengganti study tour. Dan alhamdulillah kepala sekolah dan para guru setuju.
Dan sejak saat itu, tiap tahun hingga tahun 1995, saat saya melepas status GTT, SMA Purnama mengadakan ‘Penelitian Lapangan’, sebagai pengganti program study tour.

Berdasarkan pengalaman membimbing ‘Penelitian Lapangan’, program ini memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan program study tour, yaitu :

  1. Murah. Biaya yang dibutuhkan jauh lebih murah dibandingkan study tour. Komponen biaya transportasi dari sekolah (di Gombong) ke lokasi penelitian di Srati Ayah (misalnya), murah dan bahkan bisa ngecer. Juga komponen biaya makan, biasanya kami  minta tolong  Pak Kades atau salah satu penduduk, atau warung di desa untuk menyiapkan makan dan minum peserta selama di desa. Ini jelas jauh lebih murah ketimbang makan di restoran atau hotel dalam program study tour. Biaya penginapan? Nol. Sepanjang pengalaman belum pernah ada seorangpun Kades atau penduduk yang meminta biaya untuk penginapan anak-anak ‘peneliti’ ini.
  2. Membumi dan Beragam. Program ‘Penelitian Lapangan’ di desa-desa lebih membumi, karena subjek penelitian adalah subjek yang ada di desa-desa, dan merupakan persoalan riil desa. Di lain sisi, siswa peserta penelitian menjadi lebih mengenal dan memahami persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Siswa yang menyukai IPA bisa meneliti serangga yang hidup pohon-pohon, atau meneliti tentang zat aditif makanan yang digunakan pada masakan masakan ‘ndesa’, seperti daun salam, laos, kencur, tumbar. Sementara yang menyukai ilmu-ilmu sosial dapat meneliti tentang berbagai sistem dan persoalan pemerintahan desa, meneliti kesenian tradisional semacam ebleg sampai samroh, dan sebagainya. Alhasil, tema atau topik penelitian yang dituangkan dalam karya tulis siswa menjadi sangat beragam. Jauh berbeda dengan karya tulis siswa hasil study tour yang nyaris seragam, dan bahkan merupakan copy paste brosur-brosur yang diberikan oleh objek-objek study tour yang dukunjungi. Disamping itu, siswa peserta penelitian bisa merasakan denyut nadi masyarakat desa. Sebagian dari siswa bahkan ikut ndaut dan tandur di sawah.
  3. Ilmiah. Program ‘Penelitian Lapangan’, sesuai namanya, mengedepankan dan mengasah metoda ilmiah : mulai mengidentifikasi permasalahan, menyusun hipotesa, hingga mengambil kesimpulan, bahkan menyodorkan berbagai alternatif solusi. Pada penelitian zat aditif pada pembuatan gula jawa misalnya, ‘para peneliti muda’ ini mengajukan Natrium benzoat sebagai zat aditif yang lebih aman untuk menggantikan Natrium bisulphit. 

Sayangnya program model ‘Penelitian Lapangan’ ini sering dianggap terlalu serius, sehingga tidak disukai kebanyakan siswa. Pun program ini tidak disukai oleh sebagian guru dan kepala sekolah, karena program ini tidak memungkinkan panitia atau guru-guru tertentu beroleh keuntungan materi, selain honor membimbing. Berbeda dengan program study tour. Telah menjadi rahasia umum bahwa pihak biro perjalanan biasanya menyediakan fee untuk kepala sekolah dan atau untuk panitia study tour, yang angkanya sangat menggiurkan. Hal di atas hanyalah salah satu alternatif yang bisa dikembangkan di sekolah-sekolah. Masih banyak model lain yang dapat dikembangkan oleh sekolah agar siswa kita lebih mengenali lingkungan dan bisa ikut merasakan denyut nadi persoalan masyarakat dan bangsanya.
Beberapa sekolah terlihat sering mengajak siswa-siswanya ke stasiun kereta api melihat bagaimana petugas mengatur perjalanan kereta api, juga ke DPRD melihat bagaimana cara anggota DPRD bersidang dan mengambil keputusan, atau ke kantor pos, ke kantor polisi, ke lembaga pemasyarakatan, ke pengadilan, dan ke berbagai tempat lain lagi.

Sebenarnyalah hal demikian sudah diketahui dan dipahami oleh sebagian besar kepala sekolah dan guru. Hanya sayangnya, terkadang masih saja ‘alasan-alasan nonkependidikan’ yang justru mengedepan dan mengemuka membutakan akal budi dan nurani.

(Juli 2007)
rampungna ngesuk maning ....

Lanjut membaca “Antara Program 'Study Tour' dan 'Live In'”  »»
 
©  free template by Blogspot tutorial