20 June 2009

Penjurusan, Sebuah Catatan Kecil

Oleh : Agus Purwanto

Pada Sekolah Menengah Atas (SMA), tiap kali kenaikan kelas X ke kelas XI (kelas I SMA ke kelas II SMA) selalu disertai dengan 'penjurusan'. Artinya ketika seorang murid SMA naik dari kelas X ke kelas XI, ia harus masuk salah satu jurusan : IPA, IPS, atau Bahasa (umumnya). Murid diberi 'kebebasan untuk memilih' jurusan apa yang ingin dimasukinya.
Sengaja saya beri tanda petik kata 'kebebasan untuk memilih', karena pada prakteknya kebebasan memilih ini tidak benar-benar bebas sesuai keinginan si murid. Kebebasan ini dibatasi oleh nilai yang diperoleh dan tertera dalam raport. Misalnya murid yang memiliki nilai tidak tuntas dalam mapel kategori MIPA (Matematika dan IPA) dia tidak boleh mengambil jurusan IPA, walaupun dia bercita-cita ingin menjadi ahli nuklir dan minatnya terhadap ilmu-ilmu MIPA sebesar gunung sekalipun. Dia harus masuk jurusan IPS atau Bahasa. Dan itu berlaku sebaliknya.

Andaikan seorang murid memiliki nilai tuntas-tas-tas di semua mapel, si murid akan dipersilahkan (oleh gurunya) memasuki jurusan yang nilai mapelnya tertinggi. Misalnya seorang murid dengan nilai rata-rata mapel MIPA 80 dan nilai rata-rata mapel IPS 85, maka dia wajib masuk jurusan IPS. Kebijakan ini biasanya terjadi pada SMA papan atas, dimana murid-muridnya memiliki nilai tuntas untuk semua mapel. Prosentase murid-murid SMA papan atas yang memilih jurusan IPA jauh lebih banyak daripada jurusan IPS dan Bahasa. Belum jelas benar, mengapa bisa terjadi demikian. Ambil contoh di SMA Negeri 1 Gombong. Seorang guru SMA kategori SKM ini mengatakan bahwa 90 % murid kelas X SMA Gombong memilih jurusan IPA, sementara sisanya memilih IPS, dan bahkan hanya seorang murid yang memilih jurusan Bahasa. Namun SMA Gombong hanya mengakomodir kurang dari separo murid-muridnya yang menginginkan masuk jurusan IPA. Dari tujuh kelas XI yang ada di SMA Gombong, sebanyak tiga kelas jurusan IPA dan sisanya empat kelas jurusan IPS. Alasannya? "Lha kalau dituruti keinginan murid nanti guru IPS ngajar apa?" ujar seorang guru.

Saya sering menjumpai fenomena menarik dan pro-kontra penjurusan ini. Diantaranya : Si A seorang murid SMA SBI, ketika naik kelas XI oleh gurunya Si A dijuruskan agar masuk IPS, alasannya nilai mapel Fisikanya tidak tuntas, padahal Si A ingin dan berminat masuk jurusan IPA karena dia ingin melanjutkan studi di geofisika. Permintaannya agar dia bisa masuk jurusan IPA ditolak gurunya, pun permintaan orang tuanya agar si Anak bisa masuk IPA. Sekolah tetap kekeuh, tidak mengijinkan Si A masuk IPA.
Akhirnya orang tua Si A memindahkannya ke sekolah swasta yang mau menerima anaknya di jurusan IPA.
Dan tahukah Anda, Si A lulus UN tahun ini dengan nilai UN mapel Fisika sebesar 9.75 dan Si A diterima di jurusan Geofisika UGM!
Ini bukan fenomena satu-satunya, saya mencatat beberapa contoh lain peristiwa serupa.

Kadang dilematis, antara prinsip the best interest for the child dengan menempatkan murid sebagai subjek, dan 'menjaga keseimbangan sekolah'.

Catatan : bukan karena saya guru kimia lho - saya memiliki pengalaman serupa, ketika SMA. Hanya karena nilai mapel PMP (Pendidikan Moral Pancasila) beroleh angka merah di raport maka saya diwajibkan masuk IPA, dan akhirnya kesasar di Kimia. Padahal minat saya pada ilmu-ilmu filsafat dan sosial.

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial