21 June 2009

Catatan Jelang Tahun Pelajaran Baru : Dari PPDB Hingga Bilung

Oleh : Agus Purwanto

Menjelang berakhirnya tahun pelajaran ini, ada wacana menarik yang muncul (paling tidak yang saya amati dan minati), yaitu :

  1. Masalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) alias Penerimaan Siswa baru; dan
  2. Masalah Kepindahan Murid dari satu sekolah ke sekolah lain.
Kita mulai dari masalah pertama PPDB

Untuk jenjang PAUD atau TK nyaris tidak ada masalah selain masalah biaya. Beberapa PAUD atau TK/RA tertentu memang pasang tarif nyaris setara biaya masuk perguruan tinggi. Tapi karena PAUD dan TK/RA tidak masuk 'Wajar Dikdas' umumnya masyarakat berpendapat : silahkan saja pilih, mau milih PAUD atau TK/RA yang berbiaya mahal atau murah, dan atau bahkan tidak masuk PAUD atau TK/RA pun terserah saja. Walaupun pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena PAUD dan TK/RA juga teramat penting mengingat anak-anak usia PAUD dan TK/RA adalah golden age yang sangat menentukan cetak biru anak kelak.
Masalah mulai muncul pada PPDB SD/MI. Pasalnya beberapa SD (yang kebanjiran peminat alias SD favorit) menyelenggarakan 'test masuk' dengan materi tes berupa materi akademik seperti membaca dan berhitung. Sesuai aturan PPDB SD, dalam hal sebuah SD kebanjiran peminat, sekolah hanya diperkenankan melakukan seleksi berdasarkan usia dan tempat tinggal. Pada prakteknya beberapa SD favorit di Gombong dan Kebumen melakukan seleksi akademik. Pertanyaannya, apakah Dinas Dikpora tidak tahu? Jawabnya : Pasti tahu, hanya kura-kura dalam perahu atau melakukan pembiaran. Sehingga praktek seleksi akademik pada SD favorit tetap berlangsung tanpa hambatan.

PPDB pada SMP/MTs (dari SD/MI ke SMP/MTs), kini diharapkan lebih sederhana ketimbang tahun sebelumnya, mengingat kini sudah ada 'alat' yang sama untuk melakukan seleksi, yaitu : Nilai UASBN. Diharapkan pula kecurigaan masyarakat terhadap PPDB model test seperti yang selama ini berjalan di SMP dapat terelimininasi.
Masalah mulai muncul biasanya ketika (orang tua) calon murid melihat syarat biaya yang harus ditanggung orang tua calon murid, mulai biaya seragam dan lain-lain - yang pada sebagian sekolah mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Padahal semestinya segala biaya itu dirembug bareng setelah anak masuk.

PPDB SMA/MA/SMK nyaris sama dengan PPDB SMP/MTs. Sebagian besar (atau nyaris semua) SLTA menggunakan alat yang sama yakni nilai UN sebagai alat seleksi. Khusus untuk sebagian SMK menggunakan alat seleksi tambahan tertentu sesuai dengan kekhususan jurusan SMK.
Masalah yang selama ini muncul dan belum pernah teratasi adalah ketika beberapa SMK merekrut murid baru sebanyak-banyaknya. Akibatnya pelayanan pembelajaran menjadi terabaikan. SMK-SMK yang 'serakah' ini menggunakan dalih pasar bebas untuk justifikasi perilakunya. Mereka tidak segan-segan membuka kelas pagi-siang (double shift) dan menambah jumlah murid dalam satu kelas. Padahal secara teori sekolah dengan double shift ini mestinya baru bubar sekolah (untuk shift siang) pada pukul 21.00 alias jam 9 malam! Faktanya sekolah-sekolah double shift ini memulangkan murid-murid shift siang pada jam 18.00 atau bahkan sudah ada yang pulang sekolah pada jam 17.00. Luar biasa!.
Apakah Dinas Dikpora tidak tahu? Jelas tahu. Tapi Dinas Dikpora tidak pernah memiliki nyali untuk menindaknya, walaupun aturan main tentang ini sudah sangat jelas. Mengapa tidak ditindak? Ya ... embuh.

Kedua, tentang Perpindahan Murid dari Sekolah satu ke Sekolah Lain

Ketertarikan saya dimulai ketika Kepala SMA Negeri 1 Gombong, Drs. Kunnaji, mewacanakan sebuah aturan perpindahan murid ketika rapat guru (15/06/09) lalu. Salah satu wacana yang disampaikan adalah tentang syarat seorang murid bisa pindah ke SMA Negeri 1 Gombong bila murid itu juga berasal dari SMA Negeri (dari negeri ke negeri). Syarat lainnya adalah murid yang bersangkutan harus memiliki nilai UN sama atau lebih besar nilai UN masuk murid pada tahun bersangkutan.

Pertanyaannya, mengapa dari 'negeri ke negeri'? Menurut Kunnaji ada aturannya. Hanya saja beliau belum bisa menunjukkannya.
Tanpa bermaksud menentang pimpinan, naluri berpikir saya tergelitik :
Kebijakan perpindahan murid yang membatasi (hanya) 'dari negeri ke negeri' seolah menegaskan masih ada paradigma ambigu yang membedakan kelas sekolah negeri dan sekolah non negeri. Padahal paradigma pembedaan ini telah jadul bin janggem (jaman dulu bin jaman gemiyen), dan telah dihapuskan melalui UU Sisdiknas.
Anggapan bahwa (murid) sekolah non negeri kurang bermutu dibanding sekolah negeri, kini jelas terbantahkan. Apakah (murid) SMA Taruna Nusantara Magelang kalah mutu dengan SMA Negeri di Kebumen? Jelas tidak.
Dalam konteks SMA Negeri 1 Gombong aturan perpindahan hanya dari negeri ke negeri bahkan menjadi tidak relevan ketika ada aturan murid pindahan harus melewati batas bawah nilai UN PPDB SMA Negeri 1 Gombong.

Masalah lain yang juga menarik adalah : Apakah anak guru sebuah sekolah, ambil contoh anak guru SMA Negeri 1 Gombong yang memiliki nilai UN di bawah batas bawah PPDB SMA Negeri 1 Gombong memiliki hak istimewa untuk bisa masuk sebagai murid SMA Negeri 1 Gombong?
Pertanyaan ini muncul dari beberapa stakeholder sejak diberlakukannya PP No 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Dalam pasal 27 ayat (1) PP ini dinyatakan : Satuan pendidikan memberikan kemudahan sebagaimana dimaksud pasal 26 huruf b berupa kesempatan dan/atau keringanan biaya pendidikan bagi putra dan/atau putri kandung atau anak angkat Guru yang telah memenuhi persyaratan akademik, masih menjadi tanggungannya dan belum menikah. Sementara pada ayat (2) dinyatakan : Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal ini menimbulkan multitafsir dan pro-kontra. Satu pihak berpendapat bahwa anak guru bisa masuk sekolah manapun (apalagi sekolah dimana guru itu mengajar) berapapun nilai UN-nya termasuk kemudahan pembiayaannya - di pihak lain berpendapat bahwa itu tidak berlaku, artinya anak guru juga terkena perlakuan yang sama. Anak guru hanya beroleh kemudahan bidang pembiayaan dan bukan lainnya.

Perlu diketahui sejak era kepala sekolah Drs. Gunawan hingga saat ini, SMA ini memberlakukan aturan yang sama untuk siapapun. Tak peduli anak Bupati atau anak guru sendiri, aturan PPDB sama. Artinya walaupun itu anak guru SMA Negeri 1 Gombong, namun bila nilai UN SMPnya tidak memenuhi batas bawah, yang bersangkutan tidak bisa tercatat sebagai murid di SMA Negeri 1 Gombong. Aturan ini sempat memicu friksi saat awal diberlakukan.

Menjadi rahasia umum, beberapa sekolah memberlakukan 'kebijakan Bilung' (bina lingkungan) dalam PPDB, dimana anak-anak orang tertentu, walau nilai UN-nya tidak memenuhi syarat, tetap bisa masuk sekolah yang diinginkan. Kebijakan Bilung ini sungguh mencederai rasa keadilan masyarakat. Saya pernah mengalaminya. Dua tahun lalu anak kedua saya, Hanif, lulus SD dan hendak melanjutkan ke SMP. (Bukan di Kebumen, di Temanggung). Di Temanggung, sebelum ada UASBN telah diberlakukan UASBD (Daerah). Berbekal nilai UASBD, Hanif saya daftarkan ke SMPN 2 Temanggung, dan rontok pada hari pertama karena nilai UASBD di bawah batas bawah UASBD SMPN 2 Temanggung. Kemudian saya daftarkan di SMPN 1 Temanggung. Hari terakhir pendaftaran, saya pantau perkembangan rangking anak saya dari detik ke detik di SMPN 1 Temanggung. Pada sekitar Jam 10 Panitia PSB mengumumkan rangking PSB, dan Hanif tergusur, terpaut kurang dari satu digit dari batas bawah. Akhirnya saya daftarkan ke SMP Negeri 3 Temanggung. Di SMPN 3 Temanggung inilah Hanif diterima.
Namun seminggu kemudian saya dikejutkan karena anak tetangga saya diterima di SMPN 1 Temanggung padahal nilai UASBD-nya terpaut hampir 4 digit di bawah Hanif.
Jelas saya sakit hati - sayang istri saya melarang saya untuk protes. Sementara laporan lisan saya ke Dewan Pendidikan Temanggung, tidak ditindaklanjuti.

urung rampung ... ngantuk

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial