30 July 2009

Siapakah Subjek di Sekolah?

Oleh : Agus Purwanto

Saya teringat ketika diminta memberikan paparan dalam IHT di sebuah SMA papan atas, yang dihadiri para guru, karyawan, dan komite sekolah. Saya mengajukan sebuah pertanyaan : Menurut Bapak/Ibu, siapakah yang merupakan subjek di sekolah?.
Saya mendapatkan jawaban beragam. Ada yang menjawab kurikulum, ada juga yang menjawab guru, yang lain menjawab siswa, yang lain menjawab komite sekolah. Artinya belum ada kesepahaman diantara warga sekolah tentang siapa subjek sekolah.
Pun ketika saya memberikan materi pembekalan bagi para calon kepala sekolah, saya meminta peserta menggambarkan : Apa yang terpikir pertama kali ketika mendengar kata 'sekolah'?
Sebagian besar peserta menggambarkan sebuah bangunan gedung sekolah? Hanya sebagian kecil yang menggambar tentang anak-anak atau murid atau gerombolan murid. Apakah salah? Oh ... tentu tidak, sebab itu cerminan dari alam bawah sadar kita tentang 'sekolah'.

Menurut saya, kesepahaman diantara warga sekolah tentang siapa yang menjadi subjek di sekolah adalah sangat penting, karena akan berdampak pada pola pikir dan pola tindak warga sekolah.
Ketika seorang warga sekolah - apalagi itu seorang kepala sekolah - memandang siswa hanya sebagai objek, maka jangan harap ia akan menanyakan pendapat siswa sebelum ia mengambil sebuah keputusan, walaupun keputusan itu berdampak langsung pada siswa sekalipun.
Fakta menunjukkan hal-hal menyedihkan ini. Keputusan tentang pelajaran sore, untuk siswa, pengambilan keputusan tentang kriteria ketuntasan minimal (KKM), keputusan tentang tata tertib untuk siswa, keputusan untuk mengadakan ulangan umum, dan keputusan-keputusan lain yang menyangkut siswa, nyaris tidak pernah dikonsultasikan lebih dulu dengan siswa. Tapi langsung diambil oleh kepala sekolah ataupun oleh guru secara sepihak. Siswa hanya dianggap sebagai objek atau bahkan hanya sebagai pelengkap penderita. Padahal jelas, keputusan-keputusan itu akan berdampak secara langsung terhadap siswa.

Partisipasi anak-anak dalam proses pengambilan keputusan adalah hak mereka, hak-hak anak, yang dijamin dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam praksis penyelenggaraan sekolah semestinyalah anak adalah SUBJEK, dan bukan sekedar objek, apalagi sekedar pelengkap penderita. Ini berarti semua pengambilan keputusan, apalagi yang berhubungan langsung dengan anak, maka anak-anak harus dilibatkan. Dan segala keputusan semestinyalah berpegang teguh pada prinsip dasar yang terbaik bagi anak (the best interest for the child), artinya pertimbangan utama sebuah keputusan adalah apa yang terbaik untuk anak-anak, dan pertimbangan lain menjadi pertimbangan sekunder.
Masyarakat kita yang berciri paternalistik cenderung menempatkan anak pada posisi paling rendah dan tidak proporsional. Kepentingan anak selalu saja dikaitkan dengan kepentingan orang tua. Anak-anak tidak pernah didengar suara dan aspirasinya. Malahan dalam banyak hal suara orangtua (di rumah) dan suara orang dewasa (di luar rumah) dianggap mewakili suara anak-anak.

Bagaimana anak bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan? Apakah justru malah tambah bubrah? Pertanyaan ini memang sering muncul saat orang dewasa akan melibatkan anak-anak dalam proses pengambilan keputusan.
Memang, karena usianya yang masih relatif muda (di bawah 18 tahun), sebagian besar anak belum mampu merumuskan pikiran, ide-ide, dan atau perasaannya secara baik. Namun anak-anak pasti tahu apa yang dipikirkan, apa yang diinginkan, dan apa yang dirasakannya - dan orang dewasapun (setelah mendengarkan anak bercerita) pasti tahu dan paham apa substansi pikiran, keinginan, dan perasaan anak-anak. Dan substansi inilah yang harus diperhatikan dengan seksama dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.

urung rampung ...

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial