Oleh : Agus Purwanto
Korupsi di sekolah semakin merajalela karena para guru bodoh dan pengecut, sehingga tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan praktik-praktik tidak jujur seperti itu. (Darmaningtyas)
Ketika seorang rekan minta saya memandu dialog dalam rangka Hari Guru beberapa waktu lalu, saya rada bingung, otak ini tiba-tiba 'hang' : Lha memangnya ada to hari guru ? Yang keberapa ya ? sungguh saya lupa, lebih tepatnya tidak tahu, mboten ngertos ! ; semula saya pikir yang tidak ngeh terhadap hari guru hanyalah guru ndesa semacam saya, tapi ternyata dari lima rekan guru yang saya tanya, mulai guru berpredikat GTT hingga mbahe guru, yang golongan IV-b : idem dito mboten ngertos !. Berbeda secara jungkir balik 180 derajat, ketika ditanya : Kapan hari ABRI ? mulai dari para bethara guru yang nyaris pensiun hingga murid SD Sidobunder - sambil nenteng sepatu yang takut basah karena banjir - dengan tangkas akan menjawab : 5 Oktober !
Sebuah indikator sederhana betapa marginal dan tidak ngetopnya profesi guru di tengah masyarakatnya sendiri, termasuk di masyarakat pendidikan !
Melompat sedikit, Alkisah, Tokyo-Jepang, Agustus 1945: Setelah pesawat B-29 milik USA dan gengnya menjatuhkan bom atom Litle Boy di Nagasaki dan Hiroshima pada Perang Dunia II Jepang tak lagi mampu bertahan, dan akhirnya bertekuk lutut. Beberapa minggu kemudian, kaisar negeri Matahari Terbit itu, Hirohito, memanggil panglima perangnya dan mengajukan pertanyaan penting, yang membawa nasib bangsa Jepang di era berikutnya :“Berapa jumlah guru yang masih hidup ?” Dan sang panglima perangpun bengong. Mengapa Kaisar menanyakan jumlah guru yang masih hidup, dan bukannya berapa tentara yang masih bernyawa ?Dua kisah di atas adalah suatu ilustrasi betapa kontrasnya perbedaan 'sudut pandang' kedua bangsa; Jepang, lewat setengah abad lalu, melalui sang kaisar Hirohito, sedemikian cerdasnya menentukan skala prioritas pembangunan negara. Di tengah kehancuran total akibat dibom atom, dan dampak kekalahan Perang Dunia II yang sedemikian parah di seluruh aspek kehidupan bangsa Jepang kala itu, Sang Kaisar menentukan prioritas yang harus dibangun dan harus segera dipulihkan, yaitu Guru dan Pendidikan !
Dan hari ini kita dapat saksikan, Jepang yang sedemikian maju, sejahtera, dengan masyarakat yang berdisiplin. Terbukti dan tak dapat dipungkiri, bahwa pilihan prioritas sang kaisar Hirohito adalah sebuah pilihan cerdas dan tepat.Sebenarnyalah pada waktu itu (bahkan pada tahun yang sama, 1945) para founding father kita berpikir serupa dengan Kaisar Hirohito. Bahkan jauh sebelum itu, tahun 1928, Wage Rudolf Supratman, ketika menggubah lagu Indonesia Raya (ketika masih 'berirama keroncong') secara eksplisit sudah tertera : “ …. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.
Dan apalagi sarana untuk membangun jiwa manusia Indonesia, kalau bukan melalui pendidikan? Jadi sebenarnya sudah jelas.
Masalahnya : mengapa kemudian prioritas pembangunan justru bergeser? Dan kemudian guru sebagai profesi pembangun jiwa bernasib memprihatinkan.
Coba kita bandingkan dengan negeri tercinta, nusantara, yang kata Ki Enthus negari ingkang apanjang-apunjung-gemah ripah lohjinawi, Indonesia. Bahkan di penghujung tahun 2001 yang baru saja kita tinggalkan, para guru di beberapa daerah masih saja terus berjuang - sebagian dengan demonstrasi - untuk memperoleh perhatian dari eksekutif, dari legislatif, dan dari masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk bangsa termasuk menuntut rapel gaji yang belum terbayarkan.
Hanya malangnya, bahkan ketika kaum Oemar Bakri ini menuntut hak dasarnya, urusan perut : rapel kenaikan gaji sebagian kalangan tak memandang sebelah mata. Di Purwokerto (Suara Merdeka, September 2001) sehari sebelum rencana demo guru digelar, Kapolres setempat mengancam akan menyikat demonstran yang berbuat anarkhis walaupun dengan catatan 'yang anarkhis', namun tak patut dan tak semestinya ucapan 'menyikat' ditujukan terhadap demonstran jenis ini, karena dalam catatan sejarah di Indonesia, belum pernah ada demontrasi guru yang berakhir rusuh. Di Temanggung, (Suara Merdeka, 21 September 2001) lewat pandangan umum fraksi, dua fraksi DPRD kota tembakau ini, menuduh para guru yang hendak demonstrasi menuntut pembayaran rapel, menggunakan cara-cara provokasi dan agitasi bergaya fasis! Sebuah tuduhan yang sungguh mengerikan dan biadab, sekaligus menggelikan; bahkan rezim Orde Baru saja, yang juga mengabaikan nasib guru, sekaligus menjadikan guru sebagai sapi perah, masih berbaik hati memberi permen karet, dengan memberi julukan : pahlawan tanpa tanda jasa !
Dan tahukah Anda di DPRD Kebumen Beriman, hanya ada seorang Pak Kosasih, anggota legislatif dengan profesi semula sebagai guru, yang duduk di Komisi E (komisi yang membidangi pendidikan) sedangkan para legislator lainnya dengan profesi semula sebagai guru, lebih memilih di komisi lainnya. Pak Pitoyo Susilo misalnya, yang mantan bos Diknas Gombong, dan 'pegawai' BP3 SMU Negeri I Gombong - disebut pegawai karena sangking lamanya duduk di kepengurusan BP3 - justru lebih betah duduk di komisi A. Maka kita sangat patut berterima kasih kepada Bapak Bagyono Panuju alias Mas Iing, yang pewaris tahta toko roti Bati, beserta kawan-kawan beliau, yang tetap betah menggawangi komisi kering nan ruwet : komisi yang membidangi pendidikan, komisi E. Dari ilustrasi di muka tergambar bahwa betapa pendidikan di Indonesia, juga di negari mBumen Beriman, masih terlunta-lunta nasibnya, sekaligus terlecehkan - Dan guru masih menjadi profesi 'dhuafa' ditengah-tengah gegap gempita jaman, bahkan hingga ke jaman reformasi sekarang ini. Apa yang semestinya dilakukan agar kaum Oemar Bakri, sebagai salah satu pilar utama pendidikan, di masa mendatang lebih berdaya ?
Ini PR besar ! yang dalam mengerjakannya tak lagi boleh samben, apalagi menggantungkan pada orang atau lembaga tertentu ! Pengalaman PGRI di masa lalu, yang berlindung di ketiak Golkar, alih-alih diberdayakan tapi justru dijadikan kuda tunggang sekaligus sapi perah - tidak boleh terulang kembali. Guru, baik perorangan ataupun via organisasi-organisasi guru, apapun nama dan bentuknya, sesulit apapun kondisinya - harus berusaha memerdekakan diri dari stigma-stigma ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang selama ini membelenggu dan tidak produktif. kecuali kalau guru benar-benar bodoh dan pengecut, sehingga laiknya keledai, melakukan kesalahan yang sama seperti di era Orde Baru.
Praktik-praktik pemotongan gaji guru oleh para mafioso pendidikan, dengan alasan-alasan yang nirnalar - seperti pemotongan gaji guru hingga puluhan ribu untuk perpisahan bos Dinas Pendidikan Gombong belum lama ini harus segera dihentikan. Para guru harus berani menolak bila ada pemotongan jenis ini
Liding dongeng, pendidikan dan guru pada umumnya, di negeri zamrud khatulistiwa selama ini memang gak direken, diabaikan, dan menempati prioritas seket buntet. Mau tahu bukti lainnya ! Tahukah Anda berapa angka prosentase jatah anggaran pendidikan di APBN ? Tahun Anggaran 2000 sektor pendidikan hanya kebagian 3,8 % dari total APBN tahun 2001 rada mendingan naik menjadi 4,4 % total APBN. (Coba Anda bandingkan dengan Malaysia yang berkisar 20 % s.d. 25 %). Angka sekecil itupun dengan catatan, masih terjadinya kebocoran-kebocoran yang diembat oleh sebagian kleptokrat (birokrat maling), yang masih banyak bercokol di dunia pendidikan. Anda bisa perkirakan berapa anggaran yang menetes sampai di bawah !.
Anda pengin bukti lebih konkrit ? Silahkan dibaca laporan keuangan K3S SLTP, hasil investigasi komunitas 'Sekobere', atau bila Anda punya lebih banyak waktu, coba simak rekaman dialog Pengurus K3S SLTP dengan komunitas 'Sekobere' 10 Desember 2001 lalu. Seorang guru nyaris meneteskan air mata, ketika mengetahui lebih separo dana UUC tidak digunakan untuk keperluan UUC, melainkan untuk keperluan lain laiknya dana nonbugdeter Bulog, diantaranya untuk membelikan ban mobilnya pengawas !
Adalah benar, bahwa alokasi dana pendidikan bukan satu-satunya faktor dan ukuran, akan tetapi dengan anggaran sekecil itu (3,8 %), apa yang dapat diperbuat untuk menggerakkan pendidikan agar di masa depan terjadi perubahan yang substansial pada SDM anak-anak bangsa ?Dan ironisnya, kita kaum Oemar Bakri pun diam seribu bahasa, permisif, njeplem, ndepipis, ketakutan melihat kenyataan demikian malah ketika jadi kepala sekolah, sebagian rekan kita ikut mengondusifkannya, bahkan partisipatif dalam perilaku koruptif (misalnya dengan tega memakan kickback money setoran UUC dari K3S, bahkan puluhan juta digunakan untuk piknik mereka ! memangnya itu duit siapa ?, itu duit orangtua/wali murid, yang dicari dengan cucuran keringat bahkan air mata ! Oh .. teganya, … teganya !)
Kita tahu dampak buruk korupsi, utamanya di bidang pendidikan, sangatlah serius. Bila kita, kaum Oemar Bakri, memilih diam melihat mafia dan kartel pendidikan merajalela (menurut Mendiknas : penjahat pendidikan), maka jangan heran kalau seorang siswa SD ketika sedang giat belajar klilipen blandar bangunan kelasnya yang ambruk, sampai koma !; jangan heran kalau ada tukang ojek nyambi jadi guru, eh.. kebalik, guru nyambi jadi tukang ojek ; jangan heran bila sarana mengajar yang hanya talk and chalk binti lambe dan kapur yang debunya mengotori baju dan membuat guru batuk-batuk; jangan heran pula ada guru TK bergaji hanya 2 $ US per-bulan (baca : lebih kurang dua puluh ribu rupiah).
Lebih jauh akibat diabaikannya dunia pendidikan selama ini : sumber daya manusia yang rendah, tingkat disiplin warga dan aparat negara yang yang juga rendah, gejala tribalisme di masyarakat yang memprihatinkan, jeratan hutang, dan krisis multidimensi yang akut, dan belum ada tanda-tanda perbaikan hingga hari ini, bahkan semakin parah. Korupsi dimana-mana, di segala lini dan tingkatan dan jadilah mimpi Indonesia untuk menjadi The Asian Tiger (Macan Asia) buyar berantakan, malah kenyataannya justru menjadi The Asian Beggar (negara pengemis di Asia).
Bicara tentang perbaikan pendidikan di Indonesia, pertama dan paling utama yang harus diperbaiki adalah : kondisi GURU. Bukan yang lain! Gedung sekolah boleh saja ambruk, tapi kalau gurunya cerdas dan kreatif, proses belajar mengajar tetap akan berlangsung dengan baik, walau belajar di bawah pohon, belajar di sawah, belajar dengan dan menggunakan alam dan lingkungan sebagai alat peraga dan laboratorium. Sebaliknya, ketika gurunya bodoh, gedung sekolah dan ruang-ruang kelas nan bagus dan mentereng justru bisa menjadi penjara bagi murid-muridnya.
Profesi guru (sebagaimana juga profesi yang lain) mempersya-ratkan minimal 5 (lima) hal baik yang harus terpenuhi agar kinerjanya baik, yaitu :
1. Direkrut dengan baik (well recruited) sehingga menghasilkan bibit-biti guru yang baik; Coba tengok, apakah lulusan-lulusan SLTA terbaik yang mendaftar di sekolah-sekolah guru? (Konkritnya misalnya, apakah peraih medali olimpiade sains, atau katakan the best ten alumni SMA kita ada yang mendaftar di sekolah guru?), atau sebaliknya?
2. Dididik dengan baik (well trained); Pertanyaannya, apakah para calon guru dididik dan dilatih dengan baik di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), atau sebaliknya?
3. Motivasinya baik (well motivated); Apakah para guru kita memang sejak awal bercita-cita jadi guru? Ataukah ketika rampung kuliah, tidak ada pekerjaan yang cocok, kemudian mengambil 'akta IV' dan barulah jadi guru?
4. Diperlengkapi dengan baik (well equiped); Coba juga tengok, apakah para guru kita diperlengkapi dengan buku-buku referensi yang cukup, leluasa mengakses internet untuk menambah wawasan, disediakan multimedia untuk mengajar, disediakan laboratorium yang lengkap, atau hanya tersedia blabak dan kapur saja untuk mengajar?
5. Last but not least, dibayar dengan baik (well paid); Kalau untuk hal yang satu ini sudah menjadi rahasia umum : sangat memprihatinkan, khususnya guru-guru non-NIP. Selama ini pemerintah tidak pernah serius menangani kesejahteraan guru. Bahkan dulu pemerintah seolah mengondisikan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang maknanya lebih banyak diplesetkan.
Dan kita sama-sama tahu, akibat kita abai terhadap dunia pendidikan selama ini adalah : sumber daya manusia yang rendah, tingkat disiplin warga dan aparat negara yang yang juga rendah, gejala tribalisme di masyarakat yang memprihatinkan, jeratan hutang, dan krisis multidimensi yang akut, dan belum ada tanda-tandai perbaikan hingga hari ini, bahkan semakin parah. Korupsi dimana-mana, dsegala lini dan tingkatan dan jadilah mimpi Indonesia untuk menjadi The Asian Tiger (Macan Asia) buyar berantakan, malah kenyataannya justru menjadi The Asian Beggar (negara pengemis di Asia).
“Oemar Bakri… Oemar Bakri pegawai negeri jadi guru jujur berbakti memang makan hati !” Kata Iwan Fals (apalagi GTT, Guru Tidak Tetap ! kata rekan saya dari geng GTT).
Tapi tidak bijak juga kalau kita, para guru dan insan pendidikan, hanya mengeluh dan merintih. Tak akan berubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu berusaha mengubahnya, itu kata Nabi SAW. Artinya kalau nasib kita ingin berubah menjadi lebih baik, maka kita musti berusaha sekuat tenaga dan pikiran, secara sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan (Jihad !, kata pak Kyai).
Sebenarnya masih buuanyak unek-unek yang ingin saya muntahkan, tapi saya khawatir Anda keburu kliyengan.
Last but not least, bila Anda punya waktu, silahkan sesekali ikut ngobrol ngalor ngidul dengan kami di Majlis Obrolan Merdeka 'Sekobere'. Sesuai namanya : Kita merdeka mengeluarkan pendapat, bebas membantah, bebas mengkritik, bebas berargumen. Ini berarti Anda tidak boleh serik kalau dikritik ! tidak boleh nesu kalau didebat, tidak juga boleh mutung kalau pendapatnya tak laku, intinya : bila perlu kita sepakat untuk tidak sepakat ! Juga sesuai namanya yang sekobere - diadakan sak-mood-nya, sak kobere dengan format se-anane, dengan limit waktu sak-bosene. Siapa tahu terjadi pencerahan, penajaman, tambah kawruh, tambah dulur, silaturahim, siapa tahu juga tambah rejeki tapi tak tertutup kemungkinan bisa juga tambah ruwet, dan tambah mungsuh ! tapi suwer, kita tidak harapkan yang terakhir ini.Topiknya ? Penginnya sih fokus ke pendidikan, tapi siapa yang bisa jamin tidak melebar ? Toh, pendidikan itu sendiri sangat luas : ada pendidikan politik, ada pendidikan hukum, ada pendidikan civics (kewarganegaraan) de es be !
(Belakangan ada 'interupsi' mengusulkan untuk mengganti nama sekobere karena dianggap berkonotasi miring, pesimis gitu, sang pengusul memberi- kan alternatif nama : + think, untuk nama buletinnnya, dibaca lanting, makanan khas negari mBumen dan bermakna : + plus, nilai positif, positif thinking, optimis ! Sementara rekan lain berkomentar : Hwalah, mung jeneng, sing penting purwodadi desane, sing penting kan nyatane ! )
Bila Anda berminat, kami tunggu rawuh panjenengan, di Jl. Gereja no. 2 Gombong, di ndalem Pak Guru Edi Sayogyo, call : (0287) 472181 atau kontak dengan bapake Uzi di (0287) 472443 (ini telpon PMI : Pondok Mertua Indah) bisa juga kontak di (0287) 555034 (kalau ini telpon maknya di Puring). Kalau pas lagi mulang, kontak di SMU de'poters - dekat potongan ternak (SMU Neg. 1 Gombong) di (0287) 471170 minta sambungkan dengan Bp. Agus Purwanto, itu nama resminya !, Satu lagi : bisa juga di 08122754073 nomor yang terakhir ini dijamin tanpa perantara, kecuali ngepasi berada di daerah blank-spot !
Wallahu a'lam bishawab.
02 January 2008
Oemar Bakrie
Diposting oleh Majlis SAKOBERE di 1/02/2008 11:04:00 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment