31 December 2007

Ibu Hamil Putih Abu-Abu

Sari, sebut saja begitu (tentu bukan nama sebenarnya). Wajahnya murung, pandangan matanya nanar memandangi teman-temannya memakai seragam putih abu-abu berangkat sekolah. Tiga minggu lalu ia masih bisa berangkat bersama mereka, bercanda dan walau kadang harus pulang sampai menjelang magrib karena ada jam tambahan sore hari, ia masih menyisakan senyum untuk adik dan ibunya di rumah. Kini Sari tidak bisa melakukan itu semua.
Senyum kekanakannya yang manis hilang entah kemana. Tak terasa tangannya mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ya, Sari tengah hamil. Tiga minggu lalu siswi kelas XI sebuah SMA ini terpaksa keluar dari sekolah. Ia tidak tahu apakah ia keluar atau dikeluarkan dari sekolah. Semua diurus orang tuanya dengan sekolah. Yang ia tahu, orang tuanya mengharuskan dirinya berhenti sekolah dan tinggal di rumah, setelah sebelumnya ayahnya marah besar dan nyaris membunuhnya - beruntung ibunya masih melindunginya.Sari tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis. “Aku ingin sekolah Bu, aku sangat menyesal ... Aku nggak mau ... Mereka jahat ...” Tangis Sari dipangkuan ibunya.Tapi siapa yang peduli dengan tangis Sari.Orang tua Sari pun kalut. Tetangga dan keluarga besar, bahkan guru-guru Sari menyalahkan mereka, karena dianggap tak mampu menjaga anak perempuannya. Mereka tak tahu lagi cara menyelamatkan muka.

Peristiwa Ibu Hamil Putih Abu-Abu, atau bahkan biru abu-abu, nyaris menjadi sebuah fenomena. Terjadi dan terus terjadi, berulang dan berulang kembali tiap tahun. Dan ketika itu terjadi, berbagai reaksi bermunculan di masyarakat kita. Ada yang merasa prihatin, ada yang cenderung mencari kambing hitam : Salahnya orang tua kenapa tidak bisa mengawasi anak perempuannya; atau salahnya si anak perempuan, makanya jadi anak perempuan itu aja lenjeh; atau menyalahkan situasi jaman yang makin longgar, televisi yang makin ‘terbuka’, peredaran VCD porno yang kian marak, atau menyalahkan teknologi internet, atau menyalahkan teknologi HP berkamera, 3G/3,5G sehingga anak-anak dengan gampangnya bertukar gambar dan tayangan syur.Dan reaksi terbanyak di masyarakat kita adalah : menjadikannya bahan gunjingan nan hangat laiknya tayangan infotainment.

Sesungguhnyalah, Sari dan teman-teman senasibnya merupakan korban. Sari, sebagaimana umumnya anak-anak, adalah individu yang sangat labil, gampang terpengaruh, dan tergolong kelompok usia rentan. Karena alasan ini pulalah negara mengeluarkan UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan anak. Sari bisa menjadi korban karena orang tua yang tidak peduli, korban sebuah keluarga broken home, korban maraknya peredaran VCD porno, korban ketidaktahuan dan ketidak mengertiannya tentang kesehatan reproduksi, atau bahkan bisa jadi merupakan korban jaringan narkotika. Sehingga sikap sebagian masyarakat yang cenderung menyalahkan Sari - menyalahkan si korban (blame the victim) - adalah sikap yang sama sekali tidak bijaksana. Karena bisa jadi kesalahan justru terletak pada sekolah, pada orang tua, dan pada masyarakat. Sekolah dan orang tua bisa jadi salah, karena tidak memberikan pengetahuan yang memadai tentang kesehatan reproduksi. Sehingga anak yang telah dan tengah melalui masa akil baligh, dimana semua organ reproduksinya tengah tumbuh berkembang, mencari tahu informasi tentang seks pada orang dan tempat yang tidak semestinya - dan bahkan mencoba-cobanya tanpa memahami resiko yang bakal ditanggung.Masyarakat pun bisa jadi keliru, karena melakukan pembiaran terhadap peredaran VCD porno, membiarkan anak-anak mengakses situs-situs porno di internet tanpa proteksi yang berarti (bukankah konstruksi Warnet kita adalah bilik-bilik kecil tertutup, sehingga membuat pengguna warnet, termasuk anak-anak, bebas membuka situs apa saja, termasuk situs-situs porno!) . Bahkan beberapa angkutan kota (minibus) yang digunakan anak-anak pergi dan pulang sekolah ada yang bergambar sangat vulgar dan mengundang birahi. Dan anehnya pihak pemerintah membiarkannya begitu saja. Dengan kata lain, sikap saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan kontraproduktif.

Yang diperlukan Sari adalah empati dari semua pihak, khususnya dari orang-orang terdekatnya : orang tua, saudara-saudaranya, teman-temannya, guru-gurunya. Empati terhadap Sari bukan berarti kita menyetujui dan membenarkan perbuatan Sari. Sari, dan terutama yang menghamili sari, jelas salah besar. Tapi gunjingan dan caci maki tidak menyelesaikan masalah.

Pada umumnya kita memandang kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu sebatas pada kasusnya. Pernahkah terpikir bahwa bisa jadi fenomena ini hanya merupakan sebuah puncak gunung es dari sebuah permasalahan yang jauh lebih luas, serius, dan akut : free sex! Belum ada penelitian yang memadai untuk mengungkap masalah ini lebih mendalam. Kita hanya sebatas berdoa, semoga tidak separah itu yang terjadi.Penanganan Masalah Secara hukum, larangan anak sekolah yang hamil (atau menikah dan atau menikah kemudian hamil) untuk tetap bersekolah hanya ada pada tata tertib di masing-masing sekolah, atau pada perjanjian yang ditandatangani murid dan orang tua murid ketika awal masuk sekolah.

Tidak ditemukan peraturan yang lebih tinggi, berupa keputusan Bupati, Dirjen, atau menteri yang mengatur hal ini. Sementara di perguruan tinggi (kecuali PT Kedinasan tertentu), kita biasa menjumpai mahasiswi yang tengah hamil mengikuti perkuliahan tanpa hambatan apapun. Artinya ketika seorang anak perempuan berusia 18 tahun hamil, akan mengalami nasib berbeda. Kalau ia telah berstatus mahasiswi ia tetap bebas berkuliah, tapi kalau ia masih berstatus siswi SLTA, maka ia harus keluar dari sekolah.

Adalah benar bahwa kasus Ibu hamil putih abu-abu ini beragam, baik locus, modus, maupun konteksnya. Namun ada hal-hal relatif serupa (walau tak sama), yang dapat dijadikan acuan dalam penanganan masalah ini.Setiap kali kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu terjadi, penanganan yang dilakukan sekolah nyaris sama, simpel, dan cenderung reaktif : Pihak murid perempuan dikeluarkan atau diberikan surat pindah sekolah. Sementara bila pihak lelaki penghamil adalah sesama murid, ada sekolah yang membolehkan tetap bersekolah, namun ada sekolah yang mengeluarkan. Alasan yang dikemukakan pun tak kalah menariknya : demi menjaga nama baik, harkat dan martabat sekolah. (Seolah sekolah tak pernah salah).

Penanganan yang reaktif semacam ini hanya akan mengatasi symptom (gejalanya) saja, dan sama sekali tidak mengatasi akar permasalahannya. Ibarat ketika kita sakit kepala kemudian minum parasetamol, sakit kepala hilang seketika, tapi ketika pengaruh parasetamol hilang, maka sakit kepala kembali muncul. Perlu dicatat, apapun yang akan dilakukan untuk penyelesaian kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu oleh pemangku kewajiban dan pemangku kepentingan (stakeholder), terutama sekolah, harus mengedepankan prinsip yang terbaik untuk anak (the best interest for the child). Dan secara mendasar dilakukan secara komphrehensif-integratif (melibatkan semua stakeholder), dan antisipatif. Mengingat akar masalahnya yang sangat kompleks. Sekolah, khususnya tingkat SLTA atau juga SLTP, semestinya membekali murid-muridnya dengan pengetahuan agama (mental spiritual), pengetahuan psikologi, dan pengetahuan berkait kesehatan reproduksi (kespro). Semua pengetahuan itu harus berujung dengan satu pesan kuat : Jangan dekati zina! Pengetahuan ini diharapkan akan menjadi bekal dan pegangan anak-anak kita dalam menghadapi masa-masa angin dan badai yang penuh godaan dan kadang jebakan. Materi kespro dan sejenisnya ini sangat ideal bila disampaikan pada Masa Orientasi Siswa (MOS), saat dimana murid-murid mengawali tahun pelajaran baru di sekolah yang baru pula. Atau disesuaikan dengan situasi kondisi sekolah.

Pertanyaannya kini : sudahkan kita melakukan langkah antisipatif guna mencegah berulangnya kembali kasus Ibu Hamil Putih Abu-Abu? Sudahkah kita membekali anak-anak kita, murid-murid kita, dengan pengetahuan yang memadai untuk mengenali diri dan menghadapi masa-masa sulit angin dan badai yang akan menghadang mereka? Sudahkah kita menjadi sahabat mereka? Sudahkah kita mengingatkan (dengan sungguh-sungguh) agar sekali-kali jangan mendekati zina?Atau kita sekedar menggunjing, mencaci maki, dan berlaku reaktif bin kagetan? Atau kita akan membiarkan mereka bergaul bebas tanpa pendampingan?

Wallahu a’lam bishawab.

( @guspur, d_224@plasa.com )

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial