02 January 2008

Disiplin

Oleh : Agus Purwanto



Satu suku kata dengan delapan huruf ini teramat gampang dan teramat sering diucapkan orang, mulai orang tua, guru, pegawai, anak sekolah, hingga pejabat dan kepala negara namun sungguh teramat sulit di tingkat pelaksanaannya.
Sedemikian sulitnya makhuk bernama Disiplin ini dikelola atau sekedar didekati, hingga sebagian orang lebih suka menoleh pada saudara kembarnya : Diselipin dan akhirnya masyarakat (Indonesia) belajar : sejak bayi hingga ke liang lahat, sangat akrab dengan Diselipin (hanya kadang-kadang saja ketemu saudara tuanya, Si Disiplin) : ngurus Akta lahir mulai kenal Diselipin, masuk SD Favorit ketemu lagi Diselipin umur beranjak dewasa ngurus KTP ketemu diselipin, ngurus SIM ketemu diselipin, jadi pegawai ketemu Diselipin, bahkan mau jadi serdadu yang katanya hanya kenal Disiplin, pun Si Diselipin suka nempel disitu. ( geng Nggombong nggrenyem dibelakang : “ngambil SK gaji berkala juga diselipin sepuluh ribu !” Huss, itu kan untuk foto kopi !.
Geng Puring ngedem-demi : sudahlah, jangan sarkastis gitu ! khan sudah dibayarin sekolah !) Dan pada akhirnya : oknum yang minta diselipin 'miskin' oknum yang hobbynya nyelipin 'miskin' dan orang lain yang tahu dan membiarkannyapun 'miskin' dan bangsa ini 'miskin' pula, dan jadilah bangsa pengemis !

Negara-negara dengan kategori negara maju di berbagai belahan dunia, umumnya dikenal juga sebagai negara dengan pemerintahan dan warga negaranya yang memiliki tingkat disiplin tinggi, selain etos kerja yang baik.
Di kawasan Asia kita mengenal Jepang dan Singapura sebagai negara dengan pemerintahan dan warga negaranya yang sangat berdisiplin, dan dengan sikap warga negaranya yang berdisiplin inilah kedua negara ini maju pesat di berbagai bidang padahal kita mengenal Jepang dan Singapura sebagai negara dengan sumber daya alam yang sangat terbatas.Sebaliknya negara kita, walaupun dikaruniai dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, gemah ripah loh jinawi, namun karena kita lupa membangun karakter bangsa (nation and character building), utamanya penanaman disiplin; hari ini kita saksikan bersama negara dan bangsa zamrud khatulistiwa yang pernah diramalkan akan menjadi the Asian Tiger (macan Asia) ternyata meleset jauh, dan justru terlunta-lunta menjadi the Asian beggar (pengemis di Asia) bahkan terakhir lebih buruk lagi, dengan munculnya gejala tribalisme (kesetiaan dan kebanggaan pada suku atau kelompok secara berlebihan dan tidak proporsional) dan telah membuat sebagian warga bangsa ini menjadi biadab dan barbar, yang tega saling memenggal kepala diantara sesama anak bangsa, hanya karena terlahir dari suku dan kelompok atau organisasi yang berbeda. Ada Sampit, ada Poso, ada Ambon itu yang gedhe-gedhe namun di tingkat lokalpun ada Mirit/Ambal vs Pejagoan (Suwer, kita berharap ini tidak terulang lagi).

Apa yang sebenarnya terjadi dengan bangsa dan negara kita ini ? Dosa-dosa apakah yang telah kita perbuat sehingga kita terpuruk dan terlunta-lunta kelaparan, bahkan tanpa harga diri ?
Bila kita menggunakan analisa SWOT(StrengthWeaknessOpportunity Threat), untuk mendiagnosa penyakit bangsa kita, maka akan dijumpai salah satu kelemahan (weakness) utama bangsa kita adalah betapa tingkat kedisiplinan pemerintah maupun masyarakat di hampir semua lapisan sedemikian memprihatinkan. Tak perlu penelitian yang njlimet untuk menemukan hal ini, sebab dengan keluar di jalan raya saja akan segera kita jumpai fenomena ketidakdisiplinan masyarakat Lihatlah di teteg sepur (pintu perlintasan kereta api), betapa pengguna jalan saling berebut menutup jalan dari kedua arah bahkan sepeda dan sepeda motor terkadang bonek, bondho nekat menerobos, walau palang sepur sudah ditutup.

Contoh lain ? : ada PNS yang upacara sambil ndodok, ada lampu merah (trafic light) yang dianggap sepi oleh pengguna jalan, ada trotoar yang dipakai jualan, ada anggota DPR yang tak pernah ikut sidang, ada siswa yang kongkow-kongkow di pertokoan saat jam-jam belajar, ada guru yang kalau ngajar sekobere, atau adanya WC sekaligus tempat sampah terpanjang di dunia : kali Ciliwung (dan bulan pebruari 2002 ini warga Jakarta tengah menuai hasilnya : banjir besar melanda sebagian besar kota), dan 1001 contoh lain yang mengindikasikan betapa perilaku disiplin kita masih sangat jauh dari harapan. Bahkan terkadang kita bisa menjumpai bukan saja perilaku tidak disiplin, namun sudah merupakan kebiasaan buruk (bad habit) di tengah masyarakat yang sangat destruktif. Bayangkan ada orang yang meledakkan box telpon umum dengan petasan tanpa alasan yang jelas, hanya sekedar ingin meledakkan ; membuat grafiti di sembarang tempat, dan sebagainya, seolah kita tak rela bila ada fasilitas umum yang terawat. Dan jangan lupa kita terkadang masuk di dalamnya.

Secara umum disiplin diartikan sebagai tingkat kepatuhan individu maupun kelompok (masyarakat) terhadap 'peraturan' yang berlaku. 'Peraturan' disini bisa Undang-Undang Dasar, Tap. MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Perda, pearturan sekolah, atau tatib RT (di belakang, suporter saya berteriak : SKEP Mendiknas no. 111/U/2001 ! ya itu termasuk !)

Paling tidak ada lima hal pokok yang harus diperhatikan dalam disiplin.

Pertama, Adanya Aturan yang Jelas.

'Aturan main', apakah itu berbentuk Undang-Undang, Kepres, Kode Etik, Tata Tertib sampai kesepakatan bersama, haruslah cukup jelas dan sebisa mungkin tidak menimbulkan bias. Kita masih ingat hanya karena kalimat 'dan sesudahnya dapat diangkat kembali' yang (dibuat) bias, sehingga seorang Presiden di masa Orde Baru bisa berkuasa nyaris tujuh kali masa jabatan. Selain kalimat-kalimat yang dapat berbias (dibiaskan), hal lain yang perlu dicermati adalah 'aturan-aturan main' yang saling tumpang tindih (overlaping) yang satu sama lain justru bertentangan. Sebab dampak terjadinya overlaping ini akan membuat warga masyarakat yang berkeinginan untuk patuh dan berdisiplin menjadi bingung, dan akan menimbulkan kesan bahwa berdisiplin itu sulit dan merepotkan.

Kedua, Penghargaan dan hukuman (Reward and Punishment)

Penghargaan adalah sesuatu yang lazim diberikan kepada mereka yang patuh menjalankan 'aturan main', sedangkan sebaliknya hukuman untuk mereka yang melanggar.Seperti diketahui bersama, yang paling ketat dalam melaksanakan konsep ini adalah tentara. Umumnya tentara sangat keras dalam penegakkan disiplin. Seorang komandan tak segan-segan menghukum fisik anak buahnya yang datang terlambat dan sebaliknya mereka akan mendapat KPLB (kenaikan pangkat luar biasa) bila menunjukkan prestasi, dedikasi dan loyalitas. Penegakkan secara keras azas ini telah terbukti membuat tentara sangat berdisiplin. Pemerintah Singapura mendisiplinkan warga negaranya, salah satunya, dengan menghukum berat para pelanggar termasuk untuk pelanggaran kelas teri semacam merokok di tempat umum. Silahkan bandingkan dengan keadaan di Indonesia. Di bus kota yang penuh sesakpun sebagian orang masih dengan santainya merokok tanpa mau peduli pada penumpang lain yang terganggu karenanya.

Ketiga, Panutan. (Uswah Hasanah)

Untuk masyarakat kita yang masih berciri paternalistik , maka peran 'para tokoh' masyarakat akan sangat penting dalam proses pendisiplinan. Masyarakat memiliki kecenderungan besar untuk meniru 'para tokohnya', seperti para pejabat, ulama, kyai, guru, orang tua, bintang sinetron dan orang-orang tertentu yang dianggap 'tokoh' oleh masyarakat. Adalah omong kosong seseorang (orang tua, atau guru misalnya) melarang anak atau siswanya untuk tidak merokok, sementara di mulutnya terselip rokok mengepul bak asap kereta batubara.
Sebenarnyalah negeri kita, hari-hari terakhir ini, rasanya sangat membutuhkan tokoh yang bisa diteladani. Sebab yang terjadi justru sebaliknya, contoh-contoh buruk tidak satunya antara kata yang diucapkan dengan perbuatan yang dilakukan (hipokrit) Ada pejabat yang menganjurkan kesederhanaan dengan memamerkan arloji Rolex emasnya, ada ulama yang menganjurkan kesabaran dengan unjuk kekuatan, ada guru yang melarang siswanya ribut saat upacara bendera sementara ia sendiri ngobrol saat bendera naik, ada oknum polisi yang semestinya menegakkan hukum tapi ngombyongi togel, ada juga anggota parlemen mengajarkan demokrasi dengan otot dan memaksakan kehendak. Dst. …

Keempat, Tanpa Pandang Bulu.

Masyarakat dengan gampang dapat membandingkan, ketika seorang buruh harus menghuni hotel prodeo hanya karena ngambil sandal bolong untuk wudlu, atau bahkan ada yang dibakar hidup-hidup hanya karena nyolong ayam, sekedar untuk menyambung hidup - sementara ada beberapa gelintir manusia berjenis konglomerat yang selama ini telah memperoleh banyak keistimewaan dan proteksi, menggerogoti ratusan triliun uang negara dengan menyelewengkan dana BLBI, justru diperlakukan istimewa, mendapat hair cut (pemotongan utang), utang dollar US yang hanya di kurs 7.800 rupiah (sementara di pasar kurs 10.500 rupiah), diperpanjang jangka waktu pengembaliannya, dan seolah lepas dari jangkauan hukum (untouchable), bahkan dianggap pahlawan-pahlawan ekspor ! (Ini mah, bukan saja pandang bulu, tapi pandang buntut, dan pandang dompet !)

Kelima, Tanpa Toleransi.

Toleransi memang kalimat indah dengan konotasi yang bagus ada toleransi umat beragama, toleransi bertetangga, toleransi antar penumpang di kendaraan umum - namun sangat kontraproduktif untuk penegakkan disiplin. Seringkali kita lihat, aparat membiarkan saja pedagang kaki lima, atau kegiatan lain, yang menggunakan trotoar dengan alasan bertoleransi kepada nasib orang kecil. Namun akibatnya pejalan kaki akan berjalan di jalan raya, dengan resiko tersambar kendaraan yang melaju serta membuat arus kendaraan tersendat, bahkan macet. Pemerintah bertoleransi, tidak bertindak tegas ketika kasus-kasus korupsi masih dalam skala gurem dan kini ketika korupsi makin akut dan menjadi pemicu krisis, pemerintah tak tahu lagi harus berbuat apa.

Banyak orang waras di Indonesia yang nyaris putus asa melihat kondisi negara yang centang perenang sekarang ini, kebingungan harus berbuat apa juga orang sekaliber Dr. Muchtar Buchori, tokoh pendidikan (kompas, 18 Januari 2002). Nasehat bagusnya adalah, kalau kita tidak mampu mengubah dunia, mengubah orang lain paling tidak kita dapat mengubah diri sendiri, tentu saja untuk berdisiplin, medisiplinkan diri sendiri.Bukan hal gampang untuk mengubah perilaku, diri sendiri sekalipun, apalagi mengubah perilaku masyarakat, yang terbiasa seenak wudel, menjadi berperilaku disiplin. Orang bilang, lebih gampang memindahkan gunung ketimbang mengubah sifat seseorang, apalagi sifat masyarakat. Eyang Putri bilang, yen watuk ana tambane, lha yen watek ora ana tambane. Maka itu Yang, jangan sampai bangsa kita punya watak buruk : tanpa disiplin, yang ora ana tambane itu. Mumpung masih ada waktu !

Toh demikian, kesadaran kolektif masyarakat bahwa perilaku tidak disiplin inilah yang menjadi sumber utama krisis multi-dimensi yang melanda negara kita, harus dibangun. Segala lini harus dicoba, utamanya bidang pendidikan, untuk membangun perilaku disiplin di segala aspek : disiplin waktu, disiplin berlalu lintas, disiplin anggaran, dan seterusnya. Sehingga suatu saat akan menjadi kebiasaan (habit) di masyarakat dan seterusnya akan menjadi watak masyarakat (karakter). Disinilah pentingnya kontinyuitas dalam penegakkan disiplin, sebab agar perilaku disiplin merasuk jiwa dan menjadi karakter suatu bangsa sekaligus kebanggaan hidup, tidak cukup hanya dalam hitungan tahun, namun membutuhkan waktu sangat panjang, puluhan tahun bahkan lewat satu generasi.

Last but not least, pesan sponsornya adalah : Disiplinkan diri Anda, agar orang lain tak perlu mendisiplinkan Anda.

Wallahu a'lam bisshawab !

Ngisor talok D-224.

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial