05 December 2007

Ketidakadilan Anggaran

Oleh : Agus Purwanto


Suatu siang di tahun 1974.
Seorang guru SD terlihat dikelilingi anak-anak didiknya berada di tegalan, terlihat Sang Guru sedang menunjukkan tanaman kacang tanah pada anak didiknya.
Kata Pak Guru : “Coba perhatikan anak-anak, pada akar tanaman kacang tanah ini terdapat banyak sekali bintil-bintil kecil !”
“Seperti kutil ya Pak Guru?” Tanya seorang anak.
“Iya benar. Didalam bintil-bintil inilah terdapat zat lemas yang dapat menyuburkan tanah” Jelas Pak Guru.
“Zat lemas itu apa Pak Guru? Apa kalau kita makan kacang kita jadi lemas?” Tanya seorang anak yang lain.
“Ha … ha … ha …” serentak murid yang lain tertawa, sementara Sang Guru mesem saja mendapat pertanyaan aneh seorang muridnya.
(Sepuluh tahun kemudian, setelah kuliah di jurusan Kimia, Si Murid Penanya ini baru tahu apa itu zat lemas!).

Itu salah satu dari sekian banyak kenangan saya di SD, nyaris empat dasa warsa yang lalu. Pun saya masih ingat guru-guru saya di SD : Pak Sutarto yang kepala sekolah, Pak Maeni, Pak Saroji, Bu Sri Mawanti, Pak Rasikun yang ndapuk saya jadi ‘Semar’. Saya pastikan Anda punya kenangan serupa seperti itu ketika di SD dulu.

Para winasis bidang pendidikan sering mengutarakan: bahwa pendidikan di SD sangatlah penting dan besar pengaruhnya terhadap tumbuh kembang seorang manusia. Pendidikan (dan pengajaran) di SD ibarat menulis di batu, bagaikan mengukir prasasti, nyaris tak lekang oleh waktu. Coba kita bandingkan dengan penataran atau pelatihan yang kita terima pada usia lebih tua. Terkadang materi penataran yang kita terima minggu lalu-pun sekarang sudah lupa!. Bagaikan menulis di air, yang sesaat setelah ditulis tak berbekas !

Karena besarnya pengaruh pendidikan pada usia dini (baca SD), maka benarlah kegelisahan seorang YB Mangunwijaya (alm) yang menyatakan : “… lebih baik ada beberapa dosen yang bodoh daripada seorang guru SD yang bodoh”; karena ketika seorang guru SD mengajarkan sebuah ‘konsep’, maka ‘konsep’ itu melekat erat di benak dan akan terbawa si murid sampai tua. Untuk itu maka guru SD harus diupayakan lebih pintar dari hari ke hari, juga lebih sejahtera (lahir batin) dari hari ke hari. Guru SD juga harus berjiwa merdeka. Sebab guru yang sejahtera dan bahagia lahir batin serta berjiwa merdeka akan membawa suasana proses belajar mengajar yang bahagia dan merdeka pula, yang pada gilirannya akan membawa pada suasana jiwa murid-muridnya pada kondisi serupa. Sebaliknya, bila guru SD menderita, tertindas, bermental kuli, dan murung (apalagi kalau karena gajinya minus), maka dikhawatirkan akan melahirkan generasi inlander yang akan menambah beban bangsa yang memang sudah berat ini.

Secara yuridis formal posisi pendidikan (apalagi pendidikan dasar) sangatlah strategis dalam pembangunan bangsa. Cobalah simak :
Pasal 31 UUD 1945 (hasil amandemen) Ayat (1) menyatakan , “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
UU No 20 Tahun 2003 (UU Sistem Pendidikan Nasional) :
Pasal 6 Ayat (1) menyatakan, “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai limabelas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”;
Pasal 11 Ayat (1) menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pada pasal yang sama Ayat (2) tertulis, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
UU No. 23 Tahun 2002 (UU Perlindungan Anak) Pasal 53 Ayat (1) menyatakan, “Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil”.

Betapa indah setiap kata pada Undang-Undang itu, seolah menjanjikan harapan nan cerah bagi dunia pendidikan. Namun lain Undang-Undang, lain pula kenyataan yang terjadi.
Coba kita cermati nukilan beberapa fakta yang terjadi di dunia SD kita :

1. Pemerintah Kabupaten Kebumen mengalokasikan Dana Bantuan Operasional (DBO) untuk setiap SD sebesar satu juta pertahun (diberikan setengah tahun sekali), dan ‘SBPP’ yang diberikan setiap triwulan sekitar Rp. 300 ribu s.d. Rp 400 ribu (bergantung jumlah murid). Dana ‘SBPP’ ini terkadang tidak dalam bentuk uang tunai, namun sebagian berupa barang – buku nilai, LKS, buku absen, buku kwitansi = dan barang lainnya yang kadang sekolah tak membutuhkannya.
Sekolah Dasar memiliki ‘kewajiban’ menyetor lebih kurang Rp. 1.000,- (seribu rupiah)/murid/bulan ke K3S SD atau ke Kantor Cabang Dinas, untuk Dana Aktivitas Murid (DAM, ada juga yang memberi nama APBK, Anggaran Pendapatan dan Belanja Kantor – tentu saja kantor Cabang Dinas P dan K). Dana setoran ini tiap kecamatan berbeda-beda besarnya. Berdasar fakta di lapangan, dana yang semestinya digunakan untuk aktivitas murid SD ini, sebagian digunakan untuk membayari rekening listrik, rekening telpon atau keperluan lain Kantor Cabang Dinas Kecamatan.
Dengan alasan untuk ‘keperluan’ kantor Cabang Dinas P dan K Kecamatan, di salah satu kecamatan, gaji para guru SD (PNS) dipotong dua per seribu (dua per-mil) dari total gaji – lagi-lagi alasan pemotongan adalah ‘kesepakatan’. Pertanyaannya adalah : Apakah APBD (baca Pemkab) tidak mengalokasikan dana untuk keperluan operasional Kantor Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan (kini UPTD, Unit Pelaksana Teknis Dinas), sehingga harus dibiayai dengan memotong gaji guru dan iuran dari murid-murid?

2. Guru SMP, SMA, SMK bila mengajar lebih dari 18 jam per minggu akan memperoleh dana KJM (Kelebihan Jam Mengajar) sebesar Rp. 4.000/jam/bulan. Misalkan seorang guru SMP memiliki jam mengajar 28 jam/minggu, maka ia berhak memperoleh (28 jam – 18 jam) x Rp.4.000,- = Rp. 40.000,-/bulan. Bagaimana dengan guru SD? Alhamdulillah, walaupun seorang guru SD mengajar enam hari seminggu, mulai Senin hingga Sabtu - bahkan kadang harus merangkap kelas - tidak ada itung-itungan KJM seperti rekan-rekan guru yang lain di SMP, SMA, SMK.
Seolah sudah menjadi kebiasaan, saat Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan akan melakukan kegiatan, misalnya merehab kantor, pavingisasi halaman kantor (atau bahkan perpisahan pejabat Kantor Cabang Dinas) dll, maka pejabat Cabang Dinas akan melakukan ‘langkah cerdas’ dengan mengumpulkan para kepala SD, ‘bermusyawarah mufakat’ dan diputuskan : pendanaannya (sebagian maupun seluruhnya) dibebankan pada guru dengan melakukan pemotongan gaji.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, di penghujung tahun 2004 ini terdapat 4211 anak putus Wajar Dikdas (tamat tahun ajaran 2002/2003) yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/Kejar Paket B (sebagian besar dengan alasan ekonomi). Sementara Pemkab baru mampu menangani 414 anak. Masih tersisa 3797 anak yang sangat mendesak untuk memperoleh perhatian dan pembiayaan!
(Penulis sungguh khawatir bila hal-hal serupa juga terjadi di kabupaten/kota lain)

Ketidakadilan Anggaran

Kasus-kasus di atas adalah sebagian kecil indikator bahwa pemerintah masih abai terhadap pendidikan, sekaligus menunjukkan adanya ketidakadilan anggaran. Adil yang dimaksud adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, hal-hal yang urgent (penting dan mendesak) dan kebutuhan primer metilah didahulukan. Sangatlah jelas bahwa Undang-Undang menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus didahulukan. Pemerintah semestinya mencontoh manajemen keluarga kelas menengah-bawah di Indonesia. Keluarga jenis ini akan mengalokasikan anggaran lebih dari 30 % dari Anggaran Keluarga untuk keperluan pendidikan anak-anaknya (apalagi bila ada anak yang tengah kuliah, maka bisa lebih dari 50% yang dialokasikan untuk pendidikan). Orang tua kita rela ‘menyekolahkan’ sertifikat tanah dan atau SK-nya di Bank untuk keperluan pendidikan anak-anaknya. Pemerintah kita semestinya berbuat serupa; mendanai pendidikan dengan ‘cukup’ dan meniadakan hal-hal lain yang tidak urgent, termasuk di dalamnya melakukan efisiensi.

Tugas utama pemerintah (yang benar dan baik) adalah melaksanakan amanah rakyat yang dituangkan melalui Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan berbagai peraturan lain yang ada. Sangatlah jelas dan gampang dipahami, secara imperatif berbagai Undang-Undang tersebut di atas, mewajibkan agar Pemerintah memprioritaskan pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar! Bahkan secara kuantitatif menyebutkan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% (amanah UUD 1945 dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), maka adalah sebuah ironi, bahkan tragedy, ketika ternyata pemerintah justru tidak taat, bahkan mengkhianati, Undang-Undang, bahkan Undang-Undang Dasarnya sendiri !
Kesenjangan di dunia pendidikan dasar kita - khususnya SD - antara yang ‘semestinya’ menurut substansi maupun peraturan perundangan dan kasunyatan di lapangan, adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Kondisi pendidikan dasar yang seperti ini adalah akar terpuruknya mutu pendidikan di tanah air. Ini dapat terbukti dengan berbagai indikator yang ada, salah satunya adalah bahwa HDI (Human Development Index/Index Pembangunan Manusia, IPM) kita berada di bawah Vietnam! (sebuah negara yang baru ‘merdeka’ tiga puluh tahun setelah Indonesia). Di lain pihak kondisi semacam ini mengancam suksesnya penuntasan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas), yang untuk propinsi Jawa Tengah direncanakan tuntas tahun 2006.

Apa Yang Bisa Diperbuat?

Pertama, Sesuai amanah Undang-Undang, maka kita harus mendesak Pemerintah (pusat, propinsi, maupun kabupaten) untuk merealisasikan anggaran pendidikan (non gaji) sebesar minimal 20% dari APBD secara berkeadilan;
Kedua, Dana Operasional/ ‘SBPP’ SD harus ditingkatkan sampai pada tingkat ‘mencukupi’, dan diberikan dalam bentuk cash (tidak dalam bentuk barang), sehingga SD dapat mencukupi kebutuhan operasional dasar sebuah lembaga pendidikan.
Ketiga, Pemerintah (kabupaten/kota) harus mengalokasikan dana yang memadai untuk keperluan operasional Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan, sehingga Dinas dapat berkonsentrasi pada pekerjaan utamanya dan tidak lagi dibebani dengan tugas sampiran untuk berimprovisasi ‘nyukupi kebutuhan kantor’.
Keempat, Sebagaimana rekan-rekannya di SMP/SMA/SMK, hak para guru SD berupa KJM (Kelebihan Jam Mengajar) harus diberikan;
Kelima, Khusus untuk para guru dan kepala sekolah SD yang bertugas di daerah-daerah terpencil diberikan ‘tunjangan keterpencilan’ dan atau sarana mobilitas (baca : motor dinas). Hal ini untuk mengurangi kecenderungan para guru dan kepala sekolah yang bertugas di daerah terpencil untuk mengajukan pindah ke ‘kota’.

Wallahu a’lam bisshawab.

Catt :
1 Data diperoleh dari keterangan beberapa guru dan kepala sekolah SD. Dengan catatan kondisi di masing-masing kecamatan bervariasi nama maupun besarannya, namun secara substantif serupa.
2 Menurut info seorang kepala UPT : UPT Dinas P dan K (Cabang Dinas) mendapat 1,5 juta rupiah tiap tiga bulan untuk keperluan operasional kantor. (telpon, listrik, air dsb) – dan dirasa tidak mencukupi.

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial