03 December 2007

K H A (Konvensi Hak Anak)




Oleh : Agus Purwanto



Anak-Anak Belajar dari Kehidupannya


Jika anak dibesarkan dengan celaan Ia belajar memaki,

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan Ia belajar berkelahi,

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan Ia belajar rendah diri,

Jika anak dibesarkan dengan hinaan Ia belajar menyesali diri,

Jika anak dibesarkan dengan toleransi Ia belajar menahan diri,

Jika anak dibesarkan dengan dorongan Ia belajar percaya diri
,

Jika anak dibesarkan dengan pujian Ia belajar menghargai,

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan Ia belajar keadilan,

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman Ia belajar menaruh kepercayaan,

Jika anak dibesarkan dengan dukungan Ia belajar menyenangi dirinya,

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.


Sepulang diskusi sore itu - Jum'at 14 Pebruari 2003 di kantor YAPHI Mertakanda - 'puisi' karya Dorothy Law Nolte serasa menggedor-gedor jiwanya. Ucapan demi ucapan yang keluar dari bibir Nurlaela Diryat (dengan dialek mBanyumas yang mbleketaket) laiknya kaca benggala, menelanjangi hatinya : betapa cara pandang, paradigma, pola pikir dan pola tindaknya selama ini pada ketiga anak-anaknya juga pada murid-muridnya - sebagian (besar) telah keliru. Ya, keliru !

“Mudhun ngendi Mas?”“Eh uh, Pur - Purworejo, eh Magelang” Tergagap-gagap ia merogoh saku, dan mengangsurkan selembar puluhan ribu pada kondektur bus. Selepas menerima tiga lembar ribuan uang kembalian dari kondektur bus, kesadaran dirinya pelahan pulih. Astaghfirulah hal-adziem, mulutnya bergumam. Dikeluarkannya dua berkas makalah, dan disimaknya kalimat demi kalimat. Di halaman kedua pada sub judul Kerangka Acuan, terbaca :
Acara : Diskusi Hukum “Urgensi Perlindungan Anak Menurut Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak”Tempat : Kantor PPHM YAPHI KebumenHari/Tanggal : Jum'at, 14 Pebruari 2003 Pembicara : 1. Ign. Herry Hendroharjuno, SH (Staf Pengacara PPHM YAPHI Solo) 2. Hj. Nurlaela Diryat (KSP Biyung Emban Purwokerto)Moderator : Agus Purwanto (Koordinator MOM Sekobere)

Pelahan rekaman di otaknya kembali berputar.Sebenarnyalah acara ini diperuntukkan para orang tua, dan khususnya para guru TK, SD, SLTP dengan harapan terjadi pencerahan :Membangun wacana tentang perlunya perlindungan anakMembuka ruang dialog diantara stakeholder yang bersentuhan langsung dengan dunia anakMembangun kesadaran masyarakat akan peran aktifnya dalam memberikan perlindungan pada anak yang berkeadilan dan tanpa kekerasanMembangun jaringan wacana dan aksi seputar perlindungan anak di Indonesia, khususnya di kabupaten Kebumen.

Namun berbeda dengan demo GTT yang mampu mendatangkan ribuan guru, acara ini hanya mampu mendatangkan belasan guru saja (dari sekitar empat puluh undangan yang disebar).“Yah, maklumlah mbak Lela, tema-nya khan asing Kalau urusan 'perut' bin honor, apalagi pengangkatan PNS, lhah itu baru ribuan pesertanya !” kilah Moderator getir.

Giliran pertama, paparan Mas Herry :
Dimulai dari sajarotun bin sejarah mula-bukane Konvensi Hak Anak (KHA). Alkisah pasca Perang Dunia I yang berakibat penderitaan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak. Adalah Eglantyne Jebb seorang pejuang hak anak mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak, yang kemudian pada 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Dan setahun kemudian dinyatakan sebagai Deklarasi Jenewa oleh Liga Bangsa-Bangsa.Berkembang sedemikian rupa, paling mutaakhir : Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002 memberlakukan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Dan dari sekian uraian beliau tentang UU Perlindungan Anak (UUPA) ada satu penjelasan yang membuat para peserta bengong : “Dalam UUPA, membuat Akta Kelahiran itu gratis”“Ah, mosok ?” beberapa peserta nampak tidak percaya.

Segera saja para peserta mencermati UUPA yang disediakan panitia, Nah, ini dia :
Pasal 27Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.3. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orangtuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Pasal 28Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya.Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.
“Tapi kenyataannya saya ngurus akta kelahiran untuk empat anak saya di Catatan Sipil Kebumen ya mbayar je !” Kang Warjan unjuk rasa.“Itu khan dulu Kang, setelah UU 23/2002 berlaku ya tidak to !”“Iya, tidak tidak beda !” “Ya, itu nggak bener ! Mosok Pemkab kok nglanggar Undang-Undang Negara !” Tegas Mas Herry.
Giliran kedua, paparan dari Mbak Hj. Nurlaela Diryat, seorang aktivis perempuan dan pembela Hak Anak from Prakerta.

Dimulai dari visualisasi (tayangan VCD) 'tujuhbelas tahun keatas' yang menceritakan tentang penderitaan seorang anak perempuan yang dianiaya secara fisik dan diperkaos oleh ayah kandungnya, pokoknya : tragis ! membuat air mata bercucuran laiknya Nobita nangis.Dilanjutkan dengan sebuah ilustrasi : Pada suatu hari seorang ibu memukuli anaknya yang masih SD karena bermain keluar rumah tanpa pamit hingga si anak luka berdarah-darah. Ketika si Ibu ditegur oleh tetangganya, si Ibu malah marah, dan balas menjawab : “Sak-karepku to ! Anak-anakku dhewek, terserah inyong arep tek kapak-kapakena khan urusane inyong dhewek ! Sampeyan dilarang ikut campur Do you understand ?”

Dan mbak Lela pun mengajukan 'pertanyaan' : Sudahkah masyarakat (kita) memahami apa itu hak anak ? Apakah setiap orang tua merasa anak adalah hak mereka sepenuhnya ? Apakah boleh anak diperlakukan semau orang dewasa ? Sudahkah masyarakat (kita) mengetahui tentang Konvensi Hak Anak ? Atau pertanyaan yang paling mendasar, Bilamana seorang manusia disebut anak ?
Dan peserta-pun dengan kecut menjawab : “Belum dan nggak tahu”

Mbak Lela-pun, kemudian menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaannya Lha wong sing ditakoni nggak ngerti !“Dalam Pasal 1 KHA : Anak adalah manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, dengan pengecualian mereka yang berdasarkan undang-undang memperoleh kedewasaan lebih cepat”Sebagai landasan (prinsip) dalam KHA adalah :Non-Diskriminasi, diartikan bahwa semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.Kepentingan Terbaik Anak, diartikan bahwa dalam semua tindakan menyangkut anak, maka apa yang terbaik guna kepentingan anak menjadi pertimbangan utama.

Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Anak, diartikan bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin.

Penghargaan Pendapat Anak, dimaksudkan bahwa pendapat anak, terutama jika mnyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya atau berkaitan erat dengan kepentingan anak, maka perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.

Selanjutnya, mbak Lela yang adik kandung pengarang sohor Ahmad Tohari, menjelaskan tentang masih dijumpainya paradoks perlakuan terhadap anak di masyarakat, diantaranya :asumsi sebagian masyarakat bahwa tindak kekerasan terhadap anak hanya atau cenderung dialami oleh anak-anak nakal dan bandel. Fakta di lapangan menunjukkan kekerasan terhadap anak dapat menimpa siapa saja dan dimana saja !asumsi bahwa rumah adalah tempat teraman bagi anak. Fakta di lapangan, tindak kekerasan terhadap anak dapat terjadi setiap waktu dan tempatnya tidak selalu di ruang-ruang umum seperti jalanan atau tempat yang sepi, namun bahkan di rumah !masih adanya anggapan di masyarakat bahwa kekerasan pada anak hanyalah yang berdampak pada luka fisik atau cacat fisik padahal sering terjadi (dan lebih banyak) nonfisik, traumatik !masih banyak anggapan bahwa pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang tidak dikenal sebelumnya padahal pada banyak kasus pelaku justru adalah orang dewasa yang ada di sekitar anak (bahkan ayah atau ibunya sendiri, seperti kasus Arie Hanggara).

“Mas Moderator, Pripun kalau materi KHA ini dimasukkan sebagai suplemen pada MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), lha dari pada tinimbang MGMP hanya diisi dengan membuat SP/RP kita khan booring !” Usul Pak Guru Mukhrisun.“Wah, ya cocok itu ! Nyatane ya kita banyak yang ra ngerti je bahkan yang lebih tragis, kita para guru bisa-bisa menjadi makhluk yang potensial melanggar hak anak !” Sambut moderator.“Ya pancen, kadhang-kadhang nyong dhewek ya gemlethek nek anak bocah mbejujag terus kepingin nothok !” sambung Kang Warjan

“Mbak Lela, mbok sampeyan usul sama nduwuran : di tiap LP (penjara), mbok dipisahkan itu antara penghuni anak-anak dengan yang sudah dewasa sepanjang pengalaman, kalau mereka dicampur, anak-anak akan selalu mengalami perlakuan yang tidak senonoh” sambung Kang Sujud, yang sore itu hadir berpakaian ala Permadi, hitam-hitam.
Dan diskusi-pun gayeng. Sayang waktu sudah menunjukkan pukul 17.10. Kasihan rektor SD yang dari Puring, bisa kemaleman sampai rumah.“Ok, See You next time !”


Wallhu a'lam bishawab.

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial