31 December 2007

Hari Guru dan Idul Fitri

Dengan semangat Hari Guru Nasional, kita kembalikan harkat, profesionalitas dan kesejahteraan guru” (Tema peringatan Hari Guru Nasional ke X, tahun 2003 Surat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kebumen nomor 426/4183)

“Ndilalah kersaning Gusti Allah Subhanahu Wa Ta'alla, 'Idul Fitri 1424 H bertepatan dengan tanggal 25 Nopember 2003” kata menko 'Sekobere' dalam sambutan hikmah 'Idul Fitri ala Majlis Obrolan Merdeka 'Sekobere'.
“Nengapa nek 'Idul Fitri 1424 H pas tanggal selawe nopember 2003, Istimewane nang endi ?” tanya Pak Guru SD Sidamukti Kwarasan.
“Lha kiye, Rika mbokan guru ? tanggal selawe nopember ko ora ngerti dina apa ?” Humas 'Sekobere' balik tanya.
“Ya ngerti, tanggal selawe nopember rong ewu telu kuwe dina slasa kliwon, ngepasi dina badan hari pertama, wong sekampung nggone inyong padha shalat 'Id” Jawab Pak Guru SiPur yang baru dapat arisan pit montor.
“Giye tek kandhani, tanggal selawe nopember kuwe Hari Guru Nasional Do You understand ?” sergah Humase.
“Oh, iya ? Yes Yes, I stand under You !” Pak Guru SiPur rupanya mulai mudheng.

Di jagat kasunyatan fenomena seperti Mas Guru SiPur, yang tidak ngeh kapan hari profesinya diperingati, teramat sangat banyak sekali.
“Nek, kaya kuwe sapa sing salah ?” tanya Kang 2Qjan.
“Ya, salah kabeh !” Jawab @gus-pur angles.
“Coba saja cermati, Apa reaksi seorang mahasiswa IKIP ketika dia ditanya : Kuliah wonten pundi Mas ?; Apakah dia menjawab dengan kepala tegak dengan nada penuh kebanggaan ataukah dia menjawab dengan muka menunduk dan suara lirih ?” lanjut @gus-pur.
Dan majlispun senyap mungkin teringat masa-masa kuliah dulu.
“Atau ketika ditanya : Daleme pundi Mas?. Dan harus jujur menjawab walau dengan malu-malu : Puring Pak” ledek @gus-pur.
(“Ora ana anake Gubernur ndaftar dadi guru” kata Pak Bagyo Tarman suatu ketika).

Sejak edisi awal bulletin ini muncul, bahasan dan analisanya berputar-putar masalah 'Kaum Oemar Bakri'; mulai dari yang menyanjung-nyanjung, ngalem-alem : seperti julukan sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Guru yang patut digugu lan ditiru sampai yang mengejek dan meledhek : dengan mengutip Darmaningtyas, bahwa Guru itu bodoh dan pengecut (karena membiarkan praktek-praktek korupsi di sekolah, tanpa berbuat apapun untuk menghentikannya).

Hari Guru 2003

Tema Hari Guru 2003 kali ini : Dengan semangat Hari Guru Nasional, kita kembalikan harkat, profesionalitas dan kesejahteraan guru. Beberapa catatan telah kita sampaikan melalui release ke berbagai pihak :
 Mengembalikan harkat, profesionalitas dan kesejahteraan guru ? …mengembalikan? apa pernah guru kita professional dalam sejarah kita sehingga perlu mengambalikannya?
 Penilaian kesejahteraan guru berbanding lurus dengan gajinya; Cobalah periksa berapa gaji guru bantu ? Gaji guru bantu hanya sebanding dengan UMR Jawa Tengah ! Ini artinya hanya cukup membiayai kebutuhan hidup minimal diri sendiri dan tergolong kelompok miskin ! … apalagi GTT bin wiyata bhakti yang per bulan hanya 130 ribu rupiah ( 100 ribu dari pemerintah pusat, 30 ribu dari pemerintah kab. Kebumen).
 Tuntutan profesionalisme bagi guru mensyaratkan adanya tahapan peningkatan professionalisme, sehingga dibutuhkan adanya strategi yang membuat guru menjadi professional. Sementara pendidikan sudah di desentralisasikan, semestinya strategi harus sudah disiapkan oleh daerah sendiri dan disesuaikan dengan kondisi lokal - dan ternyata hingga saat ini kita belum punya strategi itu.
 Dalam peningkatan profesionalisme guru, peran pemerintah pusat dalam hal budget (dana) sangat tidak tegas, terbukti dengan rencana alokasi dana 20 % dari APBN untuk pendidikan akan dilakukan secara bertahap, dan belum jelas sampai kapan tahapannya.
 Ketidak seriusan pemerintah pusat dapat terlihat dari penghapusan DBO (dana bantuan operasional) bagi Sekolah Dasar, sementara daerah belum mengganti alokasi ini dari APBD. Padahal pendidikan dasar adalah kebutuhan pendidikan mendasar dari masyarakat yang merupakan bagian dari wajib belajar 9 tahun, dan jelas ini harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
 DPP (Dana Penunjang Pendidikan) yang hanya sekitar maksimal Rp 1,5 jt per tahun, dan sebagian besar diberikan dalam bentuk barang yang dalam pengadaannya tidak melalui kajian kebutuhan sekolah. sehingga untuk menghindari ketidak sesuaian kebutuhan dan kemungkinan KKN, seharusnya dana diberikan kepada sekolah dan biarkan sekolah membelanjakan dana sesuai dengan kebutuhannya.
 PGRI sebagai 'satu-satunya' organisasi guru, yang diharapkan sebagai penggerak, ternyata kinerjanya belum optimal karena belum beranjak dari kultur lama dan cenderung subordinatif dengan birokrasi pendidikan; semestinyalah PGRI harus lebih berani dalam menyuarakan kepentingan anggotanya. Keberanian menempatkan 'guru biasa' untuk menduduki posisi-posisi kunci di PGRI bisa menjadi salah satu solusi.
 Posisi sosial guru yang masih dihargai dalam masyarakat, seharusnya menjadi modal mental bagi kita para guru untuk mengupayakan profesionalitas.

Ya benar ! Pertanyaannya adalah : Apakah Guru di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pernah memiliki harkat, profesionalitas, dan kesejahteraan yang baik, sehingga merasa perlu untuk mengembalikannya ?
Mari kita lihat dengan jujur. Sejak proklamasi dikumandangkan, presiden Soekarno tidak pernah memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspek pembangunan pendidikan, otomatis juga nasib guru. Sistem dan sarana pendidikan (gedung dan sebagainya) relatif baik hanya karena mewarisi tinggalan Landa. Nation and character building zaman Soekarno ditempuh dengan jalur politik; politik adalah panglima. Gaji guru kala itu sangat rendah, sehingga banyak guru tidak tahan dan memutuskan untuk beralih profesi. Guru yang jumlahnya kala itu memang masih sedikit, makin langka jumlahnya. Tanpa bermaksud mengabaikan jasa dan peran beliau pada bangsa ini harus kita akui bahwa pada dasawarsa awal kemerdekaan, pembangunan pendidikan bukan sebuah prioritas.
Ketika Orde Baru di bawah presiden Suharto berkuasa, pembangunan mulai agak menyentuh bidang pendidikan namun bukan prioritas ! Ini terlihat dari hanya dialokasikannya 3 % sampai dengan 4 % APBN yang diperuntukkan bagi pembangunan pendidikan. Bahkan ketika Indonesia memperoleh rejeki 'bom minyak' pun prosentase anggaran pembangunan pendidikan tidak bergeming. Ketika Orde baru runtuh - dan berganti jaman reformasi sampai dengan tahun 2001, kita masih mencatat prosentase kue APBN untuk pembangunan sektor pendidikan pada angka 3,8 % - Tragis!.
Kita pakai benchmark negeri jiran Malaysia, yang merdeka dari penjajahan Inggris, sekitar satu dasawarsa setelah Indonesia segera mengalokasikan 20% sampai dengan 25% APBN untuk pembangunan pendidikan negaranya. Dan di tahun 2003 ini kita sama-sama tahu hasilnya : betapa makmurnya Malaysia, sementara ribuan anak bangsa jamrud khatulistiwa ini berbondong-bondong pergi ke Malaysia untuk : menjadi kuli !
Atau kita pakai benchmark negara lain, Vietnam. Negara yang baru rampung ancur-ancuran dengan Rambo Amrik tahun 1974 ini, tahun 2002 lalu IPM-nya (Index Pembangunan Manusia) telah melampaui Indonesia; dan tahun 2003 sekarang telah mampu menyelenggarakan Asian Games, sekaligus menghempaskan Indonesia dengan perolehan medali dua kali lipat ! Kata kuncinya sama dengan Malaysia : sejak awal kemerdekaannya Vietnam telah membuat prioritas pembangunan yang cerdas, yakni pembangunan pendidikan !

Kata harkat biasanya tersambung dengan kata martabat, jadilah harkat martabat. Harkat guru menurut fitrahnya bisa disejajarkan dengan orang tua (Ayah dan Ibu). 'Ideologi' apapun, di belahan bumi manapun, dan di jaman apapun, akan menempatkan Guru di tataran dan harkat yang sangat terhormat. Bahkan di negeri 'wayang', sesableng-sablengnya Ki Dhalang Enthus tetap menempatkan kaum guru (begawan) di porsi yang terhormat artinya tidak ada wayang kelas begawan yang mukanya diwarnai merah laiknya Buta Cakil ! Atau seperti begawan Durna yang mendidik dengan metodologi yang ugal-ugalan, tetap saja Harjuna muridnya yang playboy cap Kampak itu tetap sangat menaruh hormat kepada sang Guru.
Di Jaman Landa menjajah negeri kita, kaum Guru menempati posisi terhormat pula. Kaum Guru seperti Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawannya menjadi motor dan rujukan kaum pergerakan kala itu. Mereka ibarat oase dimana masyarakat dapat bertanya; mereka adalah panutan dimana masyarakat berkiblat dalam berpikir dan bertindak.

Mereka kaum Guru itu memanglah di atas rata-rata. Kecerdasan dan pengetahuan mereka di atas rata-rata masyarakat, termasuk juga penghasilannya. Maka adalah sesuatu yang wajar bila kaum Guru, kala itu, merupakan kaum terpandang.

Guru Koruptor ?

Pada momentum Hari Guru seperti di awal bulletin - adalah saat tepat bagi kita, para guru bin ustadz bercermin; “ndeleng githoke dhewek !” kata Aa Gym Warjito yang sedang menjalani masa pembuangan oleh Rezim yang tengah berkuasa.
Syukur Budiarjo, yang juga guru SLTP Neg. 79 Jakarta Pusat (Kompas, 15 Desember 2003 hal 40) memberikan otokritik yang lumayang menggigit.
“Ora usah kesuh rika Kang Tuk; soale angger kesuh malah diarani nglakoni !”kata Kang Si-Mul.
“Padahal iya !” Om Nang nyerobot.
Dibawah judul 'Guru sebagai Pelaku Korupsi?', Syukur Budiharjo menengarai 5(lima) jenis korupsi yang sering dilakukan kaum Oemar Bakri, yaitu :
 Guru sebagai koruptor waktu; bentuknya terlambat masuk kelas,dan membolos;
 Guru sebagai manipulator nilai; Umumnya terjadi karena tekanan birokrasipendidikan melalui tangan kepala sekolah, guru terpaksa memanipulasi nilai agar naik kelas dan lulus ujian. Ketika ini berlangsung bertahun maka jadilah kebiasaan memberi bonus nilai kepada siswa untuk meraih prestasi semu;
 Guru sebagai pedagang dan calo barang dan jasa; Guru mengambil fungsi toko dan pedagang kaki lima : jual seragam, pakaian olahraga, buku pelajaran, topi, sepatu, ikat pinggang,sampai buku tulis ! Selain berdagang, guru jugasebagai calo : dalam penyelenggaraan studi tur, perpisahan, tes intelegensia (IQ), dan pemberian ijin kepada pedagang untuk mempromosikan dan menjual barang dagangan kepada siswa;
 Guru sebagai pembeli jabatan; Misalnya jabatan kepala sekolah. Meskipun harganya puluhan juta. Promosi kepala sekolah dengan politik uang ini memicu timbulnya perilaku kepala sekolah yang korup.
 Guru sebagai koruptor dana; Kepala sekolah bekerjasama dengan elit sekolah mengorupsi dana yang tidak sedikit jumlahnya : apakah itu dana BOP, DBO, block grant adalah contoh dana yang paling empuk untuk dikorup. Korupsi jenis ini merupakan korupsi yang sistemik karena melibatkan pejabat pendidikan pada level atas kepala sekolah. Agar tidak mudah diketahui pihak lain, elit sekolah menutup akses ke asal sumber dana. Jangankan orang tua siswa atau masyarakat, guru saja tidak menembusnya. Dengan dusta, tipu daya, tanpa rasa malu, dan tidak takut dosa, dana-dana itu dikorupsi dengan berbagai strategi : program fiktif, kuitansi fiktif, sumber pembiayaan yang dibuat tumpang tindih dsb.

“Nah, padha ngaku apa ora ? Primen kiye Kang Darma ?”

Wallahu a'lam bishawab !

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial