31 December 2007

Partisipasi Anak Dalam pengambilan Keputusan

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah usia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Melihat definisi Anak tersebut, maka dapat dipastikan semua murid Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan sebagian besar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk kategori anak.Dalam praksis penyelenggaraan sekolah, semestinya, anak (baca : murid) menduduki posisi sebagai subjek, dalam arti segala pengambilan keputusan adalah demi anak, terpusat pada anak, dan harus selalu berpikir yang terbaik untuk anak (the best interest of the child). Artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik untuk anak menjadi pertimbangan yang utama. Namun fakta yang ada dalam penyelenggaraan sekolah, anak cenderung diposisikan sebagai objek dan diperlakukan 'tidak adil'. Anak dipersepsi dari sudut pandang orang dewasa, seperti guru, kepala sekolah, staf tata usaha, komite sekolah, dan juga orang tua murid.
Ambillah contoh sederhana betapa anak diposisikan sebagai objek dan diperlakukan tidak adil - misalnya dalam hal tata tertib sekolah. Hampir semua tata tertib sekolah cenderung hanya mengatur siswa. Sangat jarang sebuah tata tertib sekolah yang menyeluruh (komphrehensif), yang mengatur seluruh perkehidupan sekolah, termasuk juga mengatur guru, kepala sekolah, dan atau tamu-tamu yang datang ke sekolah. Merokok misalnya, dalam tata tertib sekolah, hanya siswa yang dilarang merokok di sekolah tentu dengan segala ancaman sangsi. Nyaris tidak satupun tata tertib sekolah yang juga mengatur larangan merokok untuk para guru, kepala sekolah, karyawan, dan atau tamu-tamu yang datang ke sekolah. Padahal kalau mau konsisten aturan tentang (me) rokok bahkan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Pasal 24 PP No. 81 Tahun 1989 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan jelas dinyatakan : Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok. Juga dalam Pasal 22, PP No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dinayatakan : Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.Artinya, yang dilarang merokok di sekolah semestinya tidak hanya anak (murid), tapi justru yang pertama dan utama dilarang merokok di sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawan, dan bahkan tamu-tamu yang datang ke sekolah. Faktanya? Justru (sebagian) orang-orang dewasa itulah, kepala sekolah, guru, karyawan yang memberi contoh sangat buruk : merokok di sekolah!
Hal-hal tersebut diatas bisa terjadi karena tata tertib sekolah disusun hanya oleh guru, bahkan terkadang hanya oleh satu guru (bagian kesiswaan) dan atau kepala sekolah saja tanpa melibatkan sang subjek, yakni : Anak. Maka adalah 'wajar' saja kalau kemudian banyak anak yang melanggar tata tertib sekolah, atau melaksanakan tata tertib sekolah sebagai sebuah keterpaksaan saja, karena takut dihukum dan sama sekali bukan karena adanya kesadaran dan keikhlasan.
Partisipasi Anak? Partisipasi anak dalam pengambilan keputusan di sekolah, khususnya keputusan-keputusan yang langsung terkait dengan anak, adalah sebuah keniscayaan. Paradigma pendidikan (baca : sekolah), selain prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, juga partisipatif. Partisipatif disini, khususnya dalam hal proses perencanaan dan kontrol. Namun ada kendala yang cukup serius agar kondisi ini tercapai. Masyarakat kita yang berciri paternalistik, dengan struktur yang sangat kaku, cenderung menem-patkan anak pada posisi paling rendah dan atau tidak proporsional dan kepen-tingan anak selalu saja dikaitkan dengan kepentingan orang tua. Anak-anak tidak pernah didengarkan suaranya, malah dalam banyak hal, suara orang tua (di rumah) dan orang dewasa lain (di luar rumah) dianggap mewakili suara anak-anak (Maria Hartiningsih, 2006)
Bagaimana anak bisa berpartisipasi? Dapatkah anak-anak dengan pengetahuan yang minim dan belum berpengalaman itu harus terlibat atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Apakah tidak malah bubrah? Pertanyaan sejenis ini memang sering muncul ketika para orang dewasa hendak mencoba melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan. Memang, karena usianya yang relatif muda, kebanyakan anak belum mampu merumuskan pikiran, keinginan, dan perasaannya secara runtut dengan bahasa yang terstruktur rapi. Namun anak-anak pasti tahu apa yang dipikirkan, diinginkan, dan dirasakannya dan orang tua pasti juga tahu apa substansi pokok dari pikiran, keinginan, dan perasaan anak bila mau mendengarkannya. Dan substansi itulah yang semestinya harus didengarkan, diakomodir, dituangkan dalam sebuah kebijakan, untuk kemudian dilaksanakan..
De Jure, penghargaan terhadap partisipasi dan atau pendapat anak tercantum dalam salah satu Prinsip Konvensi Hak Anak (KHA) : bahwa pendapat anak terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Demikian pula dengan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pun dalam UU No. 23/2002 tercantum prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Disamping prinsip dasar lainnya yaitu : prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
Khusus dalam kaitannya dengan praktik penyelenggaraan sekolah, peluang adanya partisipasi anak bahkan secara fundamental diatur dalam Kepmendiknas No. 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendik-nas ini tertera bahwa salah satu anggota Komite Sekolah adalah perwakilan peserta didik (baca : murid, anak). Dengan peran Komite Sekolah sebagai lembaga pendukung (supporting agency), pemberi pertimbangan (advisory agency), mediator, dan pengontrol (controlling agency), maka semestinya anak-anak bisa ikut berpartisipasi dan mempengaruhi hampir semua pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Namun sekali lagi faktanya : amat jarang orang dewasa yang memberikan peluang agar perwakilan anak (peserta didik) ini duduk sebagai anggota Komite Sekolah apalagi untuk memperhatikan dan bersungguh-sungguh mendengarkan aspirasi anak.
Anak perlu diberi peluang bicara, berpartisipasi, salah satu tujuannya adalah untuk melatih dan menumbuhkan tanggungjawab, kepedulian, dan agar anak mengerti berbagai persoalan sekolah (dan bangsanya), dengan harapan kelak dewasa tidak lagi menjadi orang yang tidak peduli, gagap, dan gamang terhadap persoalan di sekitarnya.Ambillah contoh tentang tata tertib sekolah di atas. Bila anak selaku subjek utama sekolah, dan seluruh warga sekolah (walau dalam kondisi tertentu, hanya perwakilan) terlibat dan berpartisipasi dalam proses penyusunan tata tertib sekolah, maka diharapkan anak bisa mengerti dan memahami mengapa dan bagaimana sebuah aturan dalam tata tertib harus dimunculkan. Misalnya sebuah tata tertib di sebuah SMP tertera siswa dilarang membawa sepeda motor ke sekolah. Maka akan dengan mudah anak memahami aturan ini bila dalam proses penyusunan-nya dibuat secara partisipatif (melibatkan anak) dan ada penjelasan bahwa : setiap pengendara sepeda motor harus memiliki SIM, dan syarat kepemilikan SIM berusia minimal 17 tahun. Dan ketika aturan itu disepakati bersama masuk dalam tata tertib sekolah, maka anak akan menaatinya dengan kesadaran, dan bukan karena takut akan sangsi.
(D_224)

0 Comments:

 
©  free template by Blogspot tutorial