07 December 2007

Korupsi di Sekolah

Beberapa waktu lalu, di penghujung tahun 2003. Sebuah berita perampokan menghebohkan masyarakat. Apakah karena pelakunya kelewat sadis, dan membunuh korbannya ? Apakah karena disertai tindak perkosaan di depan anak-anak si korban ? Atau karena terjadi tembak-menembak dengan aparat kepolisian ? Atau karena jumlah duit yang berhasil digondol sang perampok mencapai triliunan ? Tidak !, Bukan, bukan, bukan dan bukan ! Berita perampokan itu menjadi sedemikian heboh karena salah seorang pelaku tindak perampokan adalah : seorang guru !, atau lebih tepatnya seorang kepala sekolah ! Ya, lebih tepatnya lagi, seorang Kepala Sekolah Dasar ! Crime by the best is the worst ! begitu kata Landa Inggris yang disitir Nurcholis Majid.
Berita perampokan di atas tak akan menjadi sedemikian heboh bila sipelaku perampokan adalah preman, berita itu akan menjadi berita biasa bila pelaku perampokan adalah Gali (gabungan anak liar ?) berita perampokan itu menjadi heboh dan sangat menarik perhatian masyarakat karena salah seorang pelaku perampokan adalah : guru ! bahkan bukan seorang guru biasa namun juga menjabat sebagai seorang kepala sekolah ! kepala sekolah SD lagi !'Guru yang patut digugu dan ditiru itu menjadi perampok ?' ; 'Kepala sekolah yang semestinya juga menjadi panutan para guru menjadi perampok ?' Begitulah kira-kira masyarakat bertanya. Bahkan ada pertanyaan yang lebih nylekit lagi : 'Mungkin SD sang kepala sekolah rampok itu tidak dapat proyek DAK, sehingga dia musti merampok di luar!'
Memang, hal itu tidak boleh digeneralisir ! Masih teramat banyak guru yang baik, masih teramat banyak kepala sekolah yang laik menjadi panutan masyarakat ! Kepala sekolah yang rampok itu hanyalah sebuah anomali ! Ya, benar, benar, benar dan betul ! Guru, by design, memang semestinya digugu dan ditiru; Guru adalah uswah hasanah masyarakat; Guru adalah panutan masyarakat : patuh dan taat hukum, berperilaku sopan dan santun, bertutur kata baik, tidak boleh korupsi, ramah-tamah, dan seabreg kebaikan lainnya. Itulah cap (stigma) yang suka atau tidak suka digantungkan masyarakat dan melekat pada kaum guru. Itulah sebabnya ketika sang panutan (baca: guru/kepala sekolah, the best) itu berbuat jahat (crime, melanggar hukum : merampok, selingkuh, korupsi, ngutil, manipulasi proyek, menyuap, membeli jabatan, nilep atau memotong dana BKM dsb.) merupakan suatu perbuatan yang teramat buruk (the worst) karena akan berdampak sangat luas di masyarakat, berupa melorotnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi guru. Kondisi distrust (hilangnya kepercayaan) semacam ini akan sangat berbahaya. Masyarakat akan kelangan kiblat (kehilangan panutan).
Awal maret lalu Transparency International, menobatkan (kembali) negara kita sebagai : Juara Korupsi di Asia ! Sebuah kenyataan sangat pahit yang harus kita telan. Di dalam negeri ICW (Indonesian Corruption Watch) bahkan menengarai korupsi yang merambah di dunia pendidikan (baca : sekolah) sudah akut. Sekolah yang semestinya menjadi benteng nurani bangsa tempat persemaian tunas-tunas bangsa, juga tak luput dari penyakit kronis bernama korupsi.Sukur Budiarjo mengidentifikasi 5 (lima) jenis korupsi yang menggejala di sekolah yang potensial dilakukan oleh kaum Oemar Bakri (juga Kepala Sekolah ) (Kompas, 15 Desember 2003), yaitu :
 Guru sebagai koruptor waktu; bentuknya terlambat masuk kelas,dan membolos;
 Guru sebagai manipulator nilai; Umumnya terjadi karena tekanan birokrasi pendidikan melalui tangan kepala sekolah, guru terpaksa memanipulasi nilai agar naik kelas dan lulus ujian. Ketika ini berlangsung bertahun maka jadilah kebiasaan memberi bonus nilai kepada siswa untuk meraih prestasi semu;
 Guru sebagai pedagang dan calo barang dan jasa; Guru mengambil fungsi toko dan pedagang kaki lima : jual seragam, pakaian olahraga, buku pelajaran, topi, sepatu, ikat pinggang,sampai buku tulis ! Selain berdagang, guru juga sebagai calo : dalam penyelenggaraan studi tur, perpisahan, tes intelegensia (IQ), dan pemberian ijin kepada pedagang untuk mempromosikan dan menjual barang dagangan kepada siswa;
 Guru sebagai pembeli jabatan; Misalnya jabatan kepala sekolah. Meskipun harganya puluhan juta. Promosi kepala sekolah dengan politik uang ini memicu timbulnya perilaku kepala sekolah yang korup.
 Guru sebagai koruptor dana; Kepala sekolah bekerjasama dengan elit sekolah mengorupsi dana yang tidak sedikit jumlahnya : apakah itu dana BOP, DBO, block grant adalah contoh dana yang paling empuk untuk dikorup. Korupsi jenis ini merupakan korupsi yang sistemik karena melibatkan pejabat pendidikan pada level atas kepala sekolah. Agar tidak mudah diketahui pihak lain, elit sekolah menutup akses ke asal sumber dana. Jangankan orang tua siswa atau masyarakat, guru saja tidak mampu menembusnya. Dengan dusta, tipu daya, tanpa rasa malu, dan tidak takut dosa, dana-dana itu dikorupsi dengan berbagai strategi : program fiktif, kuitansi fiktif, sumber pembiayaan yang dibuat tumpang tindih dsb.
Jo-Tek-Si edisi perdana yang lalu misalnya mengangkat masalah yang idem ditto, yaitu tentang bau tak sedap dari penyelenggaraan ulangan umum bersama atau dengan nama lain yang diselenggarakan oleh kumpulan kepala sekolah yang bernama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah/MKKS (dulu bernama K3S). Organisasi 'arisan' para kepala sekolah ini bahkan nekad menyelenggarakan ulangan umum bersama, kendati jelas menyalahi Skep Mendiknas No. /U/2003. Kegiatan ulangan umum bersama oleh MKKS ini sangat kentara cenderung bermotif non akademik, dan UUD (ujung-ujungnya duit!). Sebab dengan kegiatan ulangan umum bersama inilah 'pasokan logistik' (berasal dari bathen penyelenggaraan ulangan umum bersama) MKKS terpenuhi. Maka dapat dipahami ketika Darmaningtyas menyatakan : Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) perlu dibubarkan karena dinilai sebagai bentuk mafia baru antar kepala sekolah guna mempertahankan hegemoninya. Posisi kepala sekolah menjadi superkuat, selain tidak dipilih dari bawah, dan punya intel guru-guru yang suka menjilat, juga ditopang mafia baru itu. (Kompas, 19 Februari 2002, hal. 5).

Pendapat lain yang agak berbeda dari Syukur Budiarjo dikemukakan St Kartono : Kekuasaan kepala sekolah yang terlalu besar dan tidak terkontrol merupakan sumber utama terjadinya korupsi di sekolah-sekolah. Korupsi di sekolah tidak dilakukan oleh guru (sebagaimana sinyalemen Syukur Budiarjo red) tetapi oleh kepala sekolah. Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota, yang seharusnya mengawasi kepala sekolah, justru mengajari kepala sekolah untuk melakukan korupsi (Kompas, 26 Januari 2004).

Liding dongeng di atas adalah sinyalemen ICW bahwa ada korupsi di sekolah ternyata benar dan masih berlangsung dengan sukses hingga kini ! Sangat memprihatinkan, sekolah (baca : guru) yang semestinya menjadi benteng moralitas masyarakat, pun telah terjangkiti penyakit korupsi. Dan lebih disayangkan lagi kita terkadang hipokrit (munafik) dengan tetap mengatakan : Tidak ada korupsi di sekolah !

2 Comments:

hampala said...

setuju mas agus, kenyataannya seperti itu. KTSP dibuat oleh sekolahg masing-masing yang standar KKM nya berbeda, tetapi Ulangan Umum tetap bareng-bareng. ada apa? terjawab oleh artikel mas agus.

hampala said...

Lha iya to, KTSP Ulangannya kok bersama, padahal dibuat sekolah masing-masing. begitu, lantas gimana mas agus.

 
©  free template by Blogspot tutorial