31 March 2008

Udud bin Ngrokok

Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok.
(Pasal 24 PP No. 81 Tahun 1989, Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan)

Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok.
(Pasal 22 PP No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan)



Oleh : Agus Purwanto

Dua diantara tiga penduduk miskin di Jakarta adalah perokok yang menghabiskan lebih dari 50% pendapatannya untuk merokok. Demikian berita RCTI (29/02/08). Dicontohkan seorang pemulung beranak tiga dengan penghasilan 20 ribu rupiah per hari, menghabiskan sekitar 13 ribu rupiah per hari untuk rokok.
Luar biasa! Ditengah kemiskinannya, ketika ketiga anaknya membutuhkan makanan dan asupan gizi yang baik untuk perkembangan otaknya, ketika ketiga anaknya membutuhkan biaya pendidikan ... Sang Ayah lebih memilih menghabiskan 13 ribu dari 20 ribu penghasilannya per hari untuk merokok!

Ada contoh lain,
ketika acara pelatihan Pencatatan Kelahiran di sebuah SMP selasa dan rabu lalu (26-27/02/08). Di awal acara, peserta pelatihan sudah bersepakat : bagi peserta yang ingin merokok, untuk keluar ruangan. Faktanya, tak lebih dari sejam kemudian, dua orang peserta pria (yang notabenenya adalah guru) dengan tanpa merasa malu ngrokok nglepus di ruang pelatihan, walau peserta perempuan sebelahnya mengibaskan tangan berulangkali menepis asap rokok yang mampir ke hidungnya. Rupanya daya adiktif racun rokok telah sedemikian hebatnya membuat ia melupakan kesepakatan, tak ada rasa malu, apalagi toleransi yang tersisa.

Ada lagi,
Seorang kepala Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di Jawa tengah, ketika berkunjung ke Australia dalam rangka menjalin kerjasama dengan sebuah sekolah di Australia, terpaksa harus berurusan dengan petugas imigrasi Bandara setempat karena dalam tasnya kedapatan rokok lebih dari dua ratus batang, melebihi batas yang diperbolehkan.

Ada lagi,
Kalau Anda bertandang ke alun-alun Kebumen lihatlah ke arah utara. Persis di depan pendopo (rumah dinas bupati Kebumen) terlihat dua baliho besar. Pada baliho sisi timur, di seperempat bagian paling atas tertera tulisan : Sampoerna Hijau Nggak ada loe nggak ramai, dengan logo dan warna khas Sampoerna. Di bawahnya terpampang gambar Bupati Kebumen, Dra. Hj. Rustriningsih, M.Si, berdampingan dengan Wakil Bupati Kebumen, K.H. Nashirudin Al Mansur, disertai tulisan (pesan) : Dengan peningkatan tata pemerintahan yang baik kita mantapkan kemandirian Kebumen. Dan di seperempat bagian bawah baliho tertera pesan khas iklan rokok : Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.

Silahkan Anda tebak, baliho ini sebenarnya iklan layanan masyarakat tata pemerintahan yang baik atau iklan rokok Sampoerna?

Padahal Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1989 Pasal 24 menyatakan : Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya kawasan bebas rokok. Dan PP No. 19/2003 Pasal 22 menyatakan : Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Pertanyaannya : apakah kedua pemimpin kita tidak tahu ada PP No. 81/1989 dan PP No. 19/2003? Wallahu a’lam.

Fakta di atas seolah membuktikan penetrasi rokok telah sedemikian hebat dan menggurita kemana-mana.

Moral Exclusion

Menurut Zainul Muttaqien dalam E-psikologi, meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok, perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat disaksikan dan di jumpai orang yang sedang merokok. Bahkan bila orang merokok di sebelah ibu yang sedang menggendong bayi sekalipun orang tersebut tetap tenang menghembuskan asap rokoknya dan biasanya orang-orang yang ada disekelilingnya seringkali tidak perduli.

Senada dengan Zainul, RR. Adiningtyas Pitaloka, M.PSi - dalam E-Psikologi, menjelaskan bahwa kompleksnya permasalahan rokok di dunia termasuk Indonesia, ditambah kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia membuka peluang pihak tertentu untuk mencuri kesempatan dengan memanfaatkan slogan-slogan semu dan menjadi sponsor even publik termasuk even olahraga. Baik industri rokok maupun perokok menggunakan apa yang disebut sebagai simptom moral exclusion, yaitu rasionalisasi, jastifikasi atau dengan bahasa awam mengatasnamakan kemanusiaan untuk menghalalkan perilaku mereka. Dengan begitu, mereka juga menyamarkan 'kesalahan' dan 'penyebaran racun' yang dilakukan.
Seperti kita ketahui, indutri rokok memiliki kemampuan finansial yang sangat kuat - beberapa pemiliknya merupakan orang-orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Dan dengan kekuatan finansial yang besar itulah mereka membayar para ahli pemasaran dan periklanan untuk membuat propaganda dan iklan yang jitu. Untuk mengakali aturan pemerintah, iklan dibuat sedemikan rupa dengan tidak menampilkan orang merokok, tapi mampu membuat kesan (image dan brand) yang sangat kuat di masyarakat. Apalagi iklan rokok ditayangkan di televisi berulang-ulang dan di berbagai media lain secara sangat intens. Sekarang masyarakat dengan mudah dapat menebak sebuah iklan rokok melalui image berupa gambar pemandangan alam, petualangan ber-safari di alam terbuka, sampai dengan suasana club disko.
Dengan sangat cerdasnya perancang Iklan-iklan rokok menyajikan keindahan alam, kebugaran, kesuksesan, kesetiakawanan - mengkamuflase substansi perilaku merokok itu sendiri yang menyebabkan polusi, merusak keindahan, merusak kesehatan, bahkan hingga menyebabkan seorang kepala keluarga abai terhadap tanggung jawab utamanya menyediakan makanan bergizi untuk anak-anaknya, karena lebih mengutamakan membeli rokok. Industri rokok juga mensponsori berbagai kegiatan masyarakat, menjadi sponsor utama berbagai tayangan olahraga di televisi, hingga menawarkan beasiswa bagi pelajar berprestasi. Penerimaan negara melalui cukai rokok, tenaga kerja yang terserap pada industri rokok, dan semua ‘hal baik’ yang dilakukan oleh industri rokok tidak akan pernah sebanding dengan kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat rokok. Suatu ironi yang tidak disadari atau tidak diacuhkan masyarakat Indonesia, bahwa tindakan-tindakan tersebut adalah bentuk penyangkalan (simptom moral exclusion).
Bila industri rokok bertopeng dibalik berbagai slogan indahnya, perokok pun setali tiga uang menggunakan jurus penyangkalan serupa. Tempat umum menjadi alasan bagi perokok untuk berkilah, ”Tempat umum kok, saya punya hak”, ”Lha wong udud nganggo cangkem-cangkemku dhewek, udud ya ora njaluk kowe”, dan ungkapan sejenis lainnya, tanpa menyadari bahwa orang lain di sekitarnya yang bukan perokok, juga mempunyai hak yang sama akan udara, terutama udara bersih.

Meutia Hatta Tolak Dana Rokok

Bertolak belakang dengan Bupati Kebumen yang menjadi ‘model iklan rokok’, Meutia Hatta Swasono sang putri proklamator Bung Hatta yang kini menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, justru menolak ketika sebuah perusahaan rokok menawarinya dana ratusan juta rupiah untuk sebuah kegiatan.
Coba kita simak berita Kompas Kamis (31/01/08) dibawah judul : MEUTIA HATTA SWASONO TOLAK UANG ROKOK.
Diundang Komisi Perlindungan Anak membuka lokakarya "Perlindungan Anak dari Dampak Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok", Senin (28/1) di Jakarta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono (61) berharap peserta yang sebagian besar pesertanya lelaki bebas dari rokok dan asap rokok."Jadi kita berada dalam lingkungan udara yang bersih selama workshop", katanya.Menurut Meutia, sebagian kematian disebabkan antara lain oleh rokok. Survei dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita menunjukkan, hampir 80 persen penderita jantung mempunyai kebiasaan merokok."Iklan rokok adalah musuh bersama, karena berdampak pada kesehatan dan kematian," katanya. Karena musuh itulah, ketika ada perusahaan rokok memberikan bantuan Rp. 200 juta untuk suatu kegiatan, Meutia mengembalikannya. "Uang itu saya kembalikan," ungkapnya. Selain itu, rokok juga memiskinkan warga. Rokok bukan saja menjadi ancaman orang tua, tetapi juga anak-anak. Warga harus disadarkan, lebih baik pengeluaran untuk rokok digunakan demi memenuhi kebutuhan gizi keluarga, terutama anak balita.

Nah, mau terus merokok?
(Aguspur)

1 Comment:

Anonymous said...

Ngrokok memang membuat orang Indonesia yang sudah miskin tambah miskin - yang tambah kaya ya juragan sampurna.

 
©  free template by Blogspot tutorial